05 • Pedih dari Sisi Lain

21K 2.2K 66
                                    

Terbangunnya Nadia berkat suara mual yang bersahutan-sahutan. Sudah pasti itu Ibu. Sudah pasti juga itu dibarengi dengan bengkak di beberapa tempat. Nadia menghela napas hati-hati, menatap kalender yang menunjukkan hari selasa. Sudah waktunya rupanya.

Gesit, Nadia menyingkirkan selimut. Menggelung asal rambut panjangnya. Kakinya yang telanjang bersinggungan dengan lantai putih yang dingin. Acuh, gadis itu terus berjalan, membuka pintu menuju dapur. Ia seduh setengah gelas teh dengan perasan jeruk nipis. Hanya sedikit rasa gula, yang terpenting ini hangat. Cukup untuk mengurangi mual Ibu.
Nadia juga meraih selembar handuk bersih. Ia kubur beberapa perongkol es batu di dalamnya. Belajar dari kata orang, es batu ini cukup untuk mengurangi bengkak. Tapi di mana pengaruhnya jika cairan itu tak bisa keluar dari tubuh? Di kaki sembuh, bisa saja cairan 'sampah' itu menumpuk di tempat lain.

"Minum dulu, Bu."

Dengan napas tersengal Rima meninggalkan ember berisi pasir itu. Ia raih gelas dari Nadia. Ia teguk hatihati. Keringat dingin semakin membanjiri sekujur tubuhnya. Ia diam, menenangkan jantungnya yang bekerja terlampau keras. Lelah, saat harus terus-menerus menanggung segala sakit ini.

Tapi Rima tak boleh mengeluh bukan? Tak seharusnya ia membuat Nadia semakin sedih dengan mengeluarkan segala keputusasaannya. Semua sudah menjadi bubur. Hendak marah pada siapa, atas kondisinya yang sekarang. Yang bisa Rima lakukan hanya terus pasrah. Ia pergunakan sisa harinya baik-baik untuk semua yang ia cinta. Termasuk putri bungsunya yang tegar ini.

Sekalipun menanggung beban yang tak ringan gadis itu tak sama sekali mengeluh. Sekarang saja tangannya amat cekatan mengompres kakinya yang bengkak. Ia naikkan kaki itu di atas bantal. Ia lakukan begitu hati-hati, bahkan gadis itu tak sama sekali jijik karena mencuci segala kain yang terkena muntahannya yang busuk itu.

Memang tak ada senyum di wajah ayunya. Tatapan matanya juga sayu, mendekati dingin. Tapi Rima yakin gadis itu melakukannya sepenuh hati, bukan suatu keterpaksaan yang membebani. Gadia itu hanya tak sanggup lagi untuk berkeluh kesah, maka ia bangun lah sebuah benteng agar tak tampak lemah.

"Sekarang hari selasa, Bu. Sebelum itu, Ibu mau makan apa?"

Bibir pucat Rima tersenyun, "apa aja. Jangan yang melanggar pantangan ya? Ibu sudah terlalu bahagia tiga hari ini. Ibu bisa makan makanannya orang sehat."

Nadia mengangguk kecil. Susah payah ia tampilkan senyumnya. Perintah untuk terus setegar karang Ia tekankan pada batin kecilnya yang terkedang melunak—tak sekuat yang seharusnya.

"Nad?"

"Ya Bu."

"Apa nggak sebaiknya kita daftar BPJS saja? Cuci darah itu nggak murah."

"Ibu dulu banting tulang untuk memenuhi segala kebutuhannya Nadia dan Mas juga Mbak. Tidak mungkin saat ibu seperti ini, kami lepas tangan nggak mau keluar uang sepeser pun. Biar bu, kami sanggup nanggung biaya ibu sampai sehat kok. Uangnya pemerintah biar dialihkan ke yang lebih membutuhkan." tutur gadis itu, memijat kecil kaki ibunya yang bengkak. Gerakannya begitu hati-hati, takut jika terlalu keras bagian tubuh Ibu yang menggembung itu bisa meledak.

"Tapi uang kalian bisa habis nanti."

Nadia tak dibiarkan menanggung biaya pengobatan ibu seorang diri. Tiga kakaknya yang sudah berkeluarga rajin mengirimi ia uang. Hanya uang. Untuk kehadiran, mereka sulit untuk luangkan. Padahal Ibu tak hanya sekadar butuh cuci darah. Ibu butuh ditemani di sisa-sisa waktunya.

"Uang bisa dicari, Bu. Jangan khawatir soal itu. Yang paling penting ibu semangat terus buat sembuh."

"Nggak bisa sembuh, Nad. Kamu paham itu."

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang