08 • Undangan Yang Lain

16.5K 1.8K 44
                                    


Ibu sudah mengeluh pinggangnya sakit sejak lama. Ibu pikir itu karena kelelahan. Ibu mengkonsumsi pil, dan sakit itu tak hilang dengan sempurna. Ibu masih mencoba acuh. Tak ke dokter hanya mengurangi segala aktifitasnya yang tak ringan itu.

Hari berganti hari, bukan hanya pinggang ibu yang kesakitan sekarang. Perutnya seringkali bergejolak. Hampir tiap pagi ibu mual. Belum lagi bagian tubuhnya yang tetiba bengkak tanpa sebab. Entah kaki, entah lengan, bahkan pernah keningnya sedikit menonjol. Diperparah dengan produksi urin ibu yang makin sedikit. Semua keadaan itu jelas membuat Ibu kebingungan. Pun dengan Nadia yang mulai kehilangan tidur nyenyaknya.

Seraya memaksa, Nadia membawa Ibu menyambangi sebuah rumah sakit. Dengan semua gejala itu Nadia masih tak tahu harus memeriksakan kondisi ibu pada bagian apa. Ia awam soal dunia kesehatan. Maka Nadia terus bertanya pada perawat yang berjaga di resepsionis. Oleh wanita bertutur lemah lembut itu Nadia diarahkan pada bagian nefrologi-yang Nadia pun tak tahu artinya.

Itu kali pertama Nadia bertemu dengan Dokter Dirga. Keramahan Dokter tampan itu menyambutnya bersama ibu. Suaranya halus, mempersilahkan ia dan Ibu untuk segera duduk. Segalanya normal. Tak ada tatapan yang seperti disangkakan oleh Nara saat ini. Apalagi sebuah kekaguman seperti yang Ria tuturkan. Itu terdengar muluk-muluk disematkan pada Nadia.

Sedikit tanya jawab kecil terjadi di ruangan serba putih itu. Dahi Dokter Dirga berkerut, seolah bisa menebak arah curhatan sakit wanita renta ini. Tapi pria berkacamata itu tak mau terburu-buru, Ibu diminta untuk cek laboratorium. Darah, urin, semua tak luput dari alat medis. Pada akhirnya, dokter Dirga membuat pernyataan yang kontan saja membuat dunia Nadia hampir runtuh. Gagal ginjal kronis katanya. Tak bisa disembuhkan, yang bisa dilakukan hanya mempertahankan fungsi ginjal yang tersisa. Ah lelucon macam apa ini Tuhan?

"Ya, Nara?"

"Lagi ngapain, Nad?"

Suara di seberang sana mengalun. Mengusir jauh-jauh nama Dirga dari otaknya. Menyingkirkan sedikit sesak oleh karena sakit yang ibu tanggung. Cukup untuk menerbitkan seulas senyum yang seolah tenggelam di bawah kaki pedih.

"Tiduran. Kamu?"

"Sambil mikirin dokter itu ya?" sinis pria itu. Lupa menjawab pertanyaan yang Nadia lempar.

"Eh kok tahu sih?" sahut Nadia. Tertawa keras membayangkan bagaimana Nara meloncat dari ranjang saking kagetnya. Nadia mendengar geraman sekarang.

"Kamu bikin jantungku sakit tahu nggak, Nad."

"Salah ya? Padahal aku kan cuma mau jujur. Nggak mau bohong sama kamu."

"Jujurmu pahit , Sayang."

Nadia terkikik, menggigit gulingnya gemas agar tawanya tak berhamburan. Mendengar nada merajuk dari Nara itu sungguh menyenangkan. Membuat Nadia merasa sangat dicintai saja. Membuat Nadia tahu bahwa ia teramat penting untuk pria itu. Ah, hati Nadia mengembang tak terkira sekarang.

"Nara. Kok diam sih?"

"Bentar. Aku lagi nenangin diri." pria itu kembali mengambil napas, "Besok-besok kalau ketemu tuh cowok, tonjok dia sekali boleh ya Nad? Kurang ajar dia. Berani sekali bikin kamu mikirin dia sampai selarut ini."

"Ya jangan dong. Nanti gantengnya berkurang kalau kamu tonjok."

"Nadia..."

"Oke-oke. Aku berhenti." Nadia menghentikan tawanya, sudah cukup untuk bermain-main, "tapi seriusan. Jangan ditonjok. Dia baik kok, dia-"

"Tuh, kamu mulai belain dia."

"Dengerin dulu, sayangku. Aku mau cerita ini." sambar Nadia jengkel.

Penantian BerhargaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang