Dua buah kartu pop up terseret sapu saat aku membersihkan kolong kasur malam ini. Selama beberapa kedipan amat aku tertegun. Kakiku serasa tertanam ke lantai. Aku berlutut di samping ranjang. Tanganku gemetar saat benda yang kutemukan sudah tiba di genggamanku. Gemuruh ini makin kuat menggedor dada. Jalinan kabut mulai melayang di kelopak mataku. Kabut pecah jadi sungai di pipi. Kenanganku lima tahun lalu berkelebat dan melayang-layang di kamar.
Aku berjalan gontai ke sudut jendela kamar. Aku menunduk dan menempelakan keningku ke kaca. Rasa kegelisahan mulai membuatku merasa tidak nyaman. Dadaku semakin pengap. Air mataku menetes ke pop up yang kudekap dekat jantung.
“Amanda, kamu di mana?” Isakan membuat suaraku sengau. Angin melemparkanku ke peristiwa saat aku kelas 1 SMP.
*Dia teman semejaku. Matanya selalu berbinar-binar. Senyuman simpul selalu menghiasi wajahnya. Seolah-olah otot wajahnya tak pernah letih menghasilkan senyuman. Kegembiraan selalu menghiasi hari-harinya. Sekali dia bicara, dia akan sulit dihentikan. Setiap pagi dia selalu terlihat semangat dan enerjik. Wajahnya juga selalu teduh oleh kerudung. Dia memang terlalu sedap dipandang. Setiap aku melihat wajahnya, selalu ada kesejukan yang menyelinap dalam hatiku.
Meski bersahabat, menurutku aku dan Amanda seperti timur dan barat. Setiap aku berkaca, yang kutangkap adalah sosok dengan kening yang selalu berkerut, bibir yang sudah lupa kapan terakhir tersenyum, wajah yang sepi oleh cahaya, dan tatapan mata yang tajam. Setiap melangkah aku selalu ditemani hati yang berat tak bergairah. Hidup yang membosankan. Tak ada warna tak ada suara, seperti tuli dan buta. Aku sering marah dan uring-uringan.
**Amanda suka membuat kartu pop. Dia juga menyisipkan kata-kata mutiara atau catatan kecil dalam pop up yang dia buat. Kemudian Amanda akan memberikan pop up itu kepada teman sekelas. Ada pop up di setiap meja dan ada kata-kata di setiap pop up.
Kau tak tahu apa itu pop up? Itu adalah kartu yang dilipat menjadi dua bagian. Ketika dibuka, akan muncul objek tiga dimensi secara tiba-tiba. Dan kalau ditutup objek itu tenggelam bersama lipatan.
Untuk teman yang lolos lomba tingkat nasional, Amanda memberi pop up berbentuk piala beserta kata-katanya:
Tuhan, terimakasih telah membawakan kemenangan pada kami. Terimakasih telah mendidik kami untuk memahami arti perjuangan. Sesuatu yang dulu kulalui bersama air mata dan pedihnya perjuangan. Raga ini telah lelah mengayun langkah. Peluh keringat telah menemani langkah kami. Tapi kini, kami telah berdiri tegap menatap langit kemenangan. Terima kasih, Tuhan, telah mengajarkan kami tentang itu.
Kepada sahabat yang sedih, sepucuk pop up berbetuk burung cendrawasih menunggu dengan beberapa potong kalimat penyejuk hati:
Hapus air matamu, karena aku akan duduk menemanimu. Aku akan membagi berat jiwaku. Aku akan memberikan bahu dan lenganku untuk menguatkan dirimu.Semakin hari Amanda semakin bertambah sahabat saja. Dia dikenal sebagai pabrik kata-kata di kelasku. Teman-temanku selalu menunggu kata-kata ajaib dalam pop up Amanda. Dan semua orang ingin bersahabat dengan dia, Amanda yang menyebarkan keceriaan lewat pop up. Seseorang yang kehadirannya selalu ditunggu.
"Selamat Amanda, kamu berhasil membawa pengaruh bagi kelas ini. Kapan aku dapat pop up dari kamu?" Tanyaku dengan memaksakan senyuman
“Bulan depan kamu ulang tahun, kan. Aku akan bikin dua pop up buat hari ultah kamu. Eh, itu arlojimu bagus. Baru?” Dia menjatuhkan pandangan ke arlojiku yang warna-warni. Aku lupa kalau Amanda begitu suka warna.
“Jeli banget sih kamu. Iya, ini beli kemaren. Baguskan? Ada garansinya lagi."
“Buatan Inggris?”
“Swis. Kamu mau pinjam? Nih, hati-hati ya,” ini pertama kalinya aku merasa begitu murah hati. Aku senang melihat Amanda suka dengan arlojiku. Dia memandanginya penuh selidik.Siang itu terasa sangat panas. Bukan panas karena matahari Maret yang tepat di katulistiwa. Tapi kemarahanku mendidih. Jam pulang sekolah, aku dan Amanda baru saja mencuri langkah keluar kelas.
“Man, arlojiku tadi mana?”
“Hmm, di mana ya? Mungkin ketinggalan di meja,” dengan gegas ia masuk kelas dan menyambar meja.
“Gimana? Ada? Di laci mungkin,”
“Eh, eng, tadi perasaan aku taruh sini. Coba aku cek laci,”dia mengaduk-aduk laci. Panik mulai menyebar dalam tubuhnya melalui darah. Matanya nanar. Seumur hidup pertama kali ini aku melihat dia begitu tegang. Menyiratkan kecurigaan di benakku
“Ada nggak?! Amanda!” emosiku mulai bermain peran, naik ke ubun-ubun.
“Ya ampuuun,” dia sudah hampir menangis. Dia menumpahkan isi tasnya ke lantai. Meneliti tiap buku, jangan-jangan terselip. Tak ada. Dia lanjutkan meraba kantong.
“Amanda, kamu itu bagaimana!? Teledor banget! Itu jam mahal, Amanda, mahal! Manaaaa!?” Aku menghentak-hentakkan kaki.
“Sabar. Tenang, tenang,” dia menangis.
“Kamu selalu bilang begitu! Tenang lah, santai lah, ceria. Kamu tidak pernah serius! Selalu meremehkan masalah! Kamu pikir dengan senyum dan ceria aja semua masalah selesai? Ha?
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Persahabatan
Short Story- KINI AKU PERCAYA PADAMU - MY FRIENDS? - PENYESALAN SEORANG SAHABAT SEJATI - DIA SAHABAT YANG SESUNGGUHNYA - TENGGELAM DALAM LIPATAN - COWOK NARSIS - CINTAKU TAK SEMANIS GULA - IKATAN JANJI - SEPARUH MEMORI UNTUKKU - KADO TERINDAH YANG PERTAMA - DI...