Bab 12

1.1K 149 11
                                    

"Ngomong-ngomong sejak malam pertama kita bertemu, kau masih sering pergi ke pusat kebugaran tidak, sih?" tanya Haru pada pria yang duduk manis di meja makan dengan telur omelet setengah gosong.

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya?" tampak tak setertarik pasangannya, Ryosuke menjawab ogah-ogahan. Jemarinya sibuk menggonta-ganti kanal televisi hingga akhirnya pilihan terbaik jatuh pada acara memasak. Meski sudah tahu caranya membuat makizushi sendiri di rumah, tapi Ryosuke punya kepuasan tersendiri mengamati aktivitas di dalam dapur. Sebenarnya ia bisa saja menikmati 'aktivitas' dapur yang sedang berlamgsung persis di sampingnya saat ini, tapi ia punya alasan lain untuk menghiraukannya. "Kelihatan dari badanku, ya?"

"..Uhm, memang sedikit kendur sih.." Haru berusaha memperlembut ucapannya. "Hanya saja sejak aku mulai tinggal di sini, kau tidak pernah sekali pun ke sana. Jangan-jangan itu cuma pencitraanmu saja."

Ryosuke melirik tersinggung. "Aku masih lari malam, tahu. Meski tidak tiap hari. Tapi soal pusat kebugaran itu memang aku sudah berhenti. Tidak tahan dengan orang-orangnya."

"Hee... Memangnya kenapa?" lanjut Haru sembari mematikan kompor dan memindahkan omelet miliknya ke piring. Ketika pria bersurai coklat itu membawa sarapan miliknya ke meja makan, pupil Ryosuke kontan membesar; tidak percaya bahwa Haru lebih pintar membuat omelet daripada dirinya. Ya, Ryosuke memang gemar memasak. Tapi gemar tidak selalu sama dengan ahli, bukan?

"Pria-pria gay itu sekali lihat aku saja sudah tahu bahwa aku sama seperti mereka. Tapi masalahnya aku pergi ke sana untuk olahraga, bukan untuk cari pacar atau teman! Kenapa mereka harus mendekatiku dan berusaha menarikku ke dalam lingkaran mereka hanya karena orientasi seksual kita sama? Aku ingin mereka sadar bahwa memiliki kesamaan tidak menjadikan kita ditakdirkan untuk bersatu."

"Kalau kau bicara begitu di depan teman-temanku, bisa-bisa mereka mencapmu sebagai homo yang homophobic, haha. Tapi yah, kadang aku juga punya masa-masa seperti yang kau alami. Aku tidak menyangkal kalau gay adalah bagian dari identitasku, tapi hanya karena itu aku tak mau orang melihatku hanya sebagai gay. Maksudku.. Aku juga punya hobi, karier dan sisi kehidupan lain yang tak kalah pentingnya, bukan? Tapi sebaiknya kau lebih hati-hati dalam bersikap, Ryosuke-san."

"Iya, iya.. Makanya aku memilih untuk tidak melanjutkan di tempat itu."

"Tapi bukan alasan untuk berhenti melatih tubuh, bukan? Cari saja tempat yang lain."

"Ya, ya.. Nanti akan kupikirkan.. Ngomong-ngomong yang kemarin buang sampah.. kau, ya? Terima kasih. Padahal aku belum memberitahu jadwal buangnya."

"Tidak usah lihat jadwal pun kalau kantung sampahnya sudah penuh bisa langsung taruh di tempat pengambilan, kok.. Kemarin Selasa adalah hari sampah botol plastik, tapi aku juga sekalian membuang kantung sampah yang bisa dibakar. Kalau memang bukan harinya, truk sampah tetap tidak akan mengambil.. Tapi kalau sampah yang bisa dibakar kita tinggal kelamaan di dalam rumah bisa mengundang serangga, jadi lebih baik langsung taruh di tempat pengambilan."

Dari tengah-tengah kalimat Haru saja, raut wajah Ryosuke sudah diliputi ketidaksetujuan. Membuang sampah sebelum waktunya?! Apa laki-laki ini gila?

"Kau mau aku diusir, hah?! Jangan lakukan itu lagi! Aku pernah didamprat habis oleh nenek-nenek tetangga yang melihatku membuang sampah tertentu tidak pada harinya!"

Haru tersentak, tapi tetap berusaha untuk menjawab. "Itu kan kalau kelihatan.. Kalau tidak ya.." Bibir belum terkatup, Haru sudah dihantui rasa sesal. Harusnya ia pilih alasan yang lebih logis! Kalau begini kan jadi tampak seperti ia yang memang mental pelanggar.

"Di sini itu ada CCTV.. Ingat, mansion mahal, tidak ada yang lihat pun pasti ketahuan. Aku sudah lama sekali tinggal di sini, jangan coba-coba mengajarkanku."

Meski tadinya Haru memiliki secercah rasa bersalah di benaknya, mendengar ucapan ketus Ryosuke, ia jadi malas untuk segera berdamai. "Coba beritahu aku kapan kau didamprat oleh nenek-nenek itu? Paling sudah lebih dari sepuluh tahun lalu." Ryosuke tak dapat mengelak. Liurnya ditelan dalam-dalam. "Tuh kan.. Aku sudah tahu. Sudah lama sekali berlalu tapi kau belum juga bisa merelakan. Pantas saja usia segini baru punya pacar sungguhan. Terlalu banyak takutnya."

"Hei!" Ryosuke pun tersulut. "Lebih baik bebal daripada plin-plan sepertimu."

"Aku tidak plin-plan! Semua perasaanku itu sungguhan, tahu!"

"Ya kalau begitu aku juga sama!"

Birit keduanya tak lagi ada di kursi. Mulut mereka menganga, terengah-engah setelah memperdebatkan hal yang mereka sungguh tidak tahu lagi sebenarnya apa. Di tengah kecanggungan yang masih hangat itu, suara bel dari pintu depan pun menginterupsi. Layaknya tergabung dalam balapan, keduanya berebut menyambut pendatang yang tidak dikenal itu.

"Itu kiriman barangku! Kau tidak usah ikutan," seru Haru kesal diikuti oleh sang penguni senior.

"Aku kan mau lihat sebesar apa, biar tahu harus taruh di mana," balas Ryosuke. Kali ini tiada satu pun niat jahat terkandung di dalamnya. Tapi Haru menganggapnya sebagai sebuah sindiran dari kardus-kardusnya yang masih tergeletak di ruang tengah, menghalangi jalan menuju kamar mandi.

"Tsk, yang kali ini isinya cuma baju, kok," bisiknya kesal.

Setelah menerima dua kardus besar dari sang kurir, Haru dan Ryosuke mengangkatnya ke depan kamar yang dikatakan akan menjadi milik Haru. Sudah ada begitu banyak kardus di dalam dan jelas tidak mungkin menambah satu atau bahkan dua lagi. "Banyak sekali ya barangmu."

"Kalau semua barang di rumah ini dimasukan ke kardus juga masih banyakan kau. Anyway, terima kasih," ujar Haru sembari menerima kardus yang satu lagi dari tangan Ryosuke. "Nanti malam ada lagi kiriman yang bakal datang. Sengaja kupisah soalnya aku pakai pilihan pengiriman yang lebih mahal.. Isinya buku, CD, dan beberapa pajangan pecah belah."

"Hm.. Coba mobilku tidak sedangdi bengkel.. Tidak usah repot-repot seperti ini."

"Makanya beli mobil baru sana, biar tidak sering rusak."

"Ugh.. Loh tapi bukannya kau bakal pulang malam hari ini? Lalu yang terima paketnya siapa?"

"Ah iya, itu maksudku.. Aku minta tolong kau yang terima paketnya. Bisa tidak? Jam delapan malam.."

Ryosuke menimbang-nimbang. Hari ini ia yakin bisa kembali tepat pukul 5 dan tidak ada acara apa pun setelahnya. Namun karena telah lama tinggal sendiri, Ryosuke selalu sudah menyiapkan rencana untuk dirinya sendiri jika tahu akan ada hari di mana ia bisa pulang cepat. Pergi sendirian ke bisokop misalnya. Atau keliling toko buku sampai malam. Mencicipi restoran terbaru yang ada di dekat stasiun. Dan yah, sama seperti ketika ia membujang.. Mencari kawan semalam di Nichoume. Meski urusannya bisa ditunda, tapi Ryosuke belum bisa biasa dengan mengorbankannya untuk kepentingan orang lain yang menurutnya adalah sesuatu yang seharusnya menjadi pertanggungjawaban orang tersebut. Sungguh tidak ada ruginya jika ia sudah di rumah pukul delapan, tapi tetap saja rasanya tidak nyaman. "..Akan kuusahakan."

"Begitu? Terima kasih banyak ya.. Kukira hari ini aku bisa kembali cepat, tapi ada jadwal syuting dipindahkan ke malam ini." Haru menepuk samping pundak Ryosuke. "Beneran tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa."

"Ya sudah.. Aku pergi dulu." Meski tidak terlalu yakin, Haru pun bergegas pergi menyusul kereta terakhir yang tidak akan menjadikannya terlambat. Sudah hampir dua minggu sejak ia mulai menyicil proses pindahannya ke apartemen besar tersebut, tapi masih juga ia belum biasa dengan rute kereta yang harus ia ambil dari stasiun terdekat. "Ah kelupaan.."

"Apa lagi?" Ryosuke mendekati pasangannya yang baru saja selesai mengenakan sepatu. Tapi yang bersangkutan bukannya menjawab malah menarik dasi Ryosuke yang menjuntai. Lalu ia sematkan kecupan ringan pada bibir Ryosuke yang kering. "..Kau norak."

"Iya, memang. Bye!"

Melihat penghuni baru di rumahnya itu melesat pergi tanpa mempertanggungjawabkan apa yang baru saja ia lakukan, Ryosuke hanya bisa garuk-garuk kepala. Seakan-akan panas hatinya yang tadi pagi baru saja tersulut berubah menjadi kehangatan yang melembutkan. Seharusnya pagi ini menjadi pagi yang dingin sama seperti hari-hari musim gugur yang lainnya, tapi seharian ini bagi Ryosuke tidak ada yang lebih dingin dari jumudnya bibir Haru, mungkin karena ia sempat menenggak air dingin sebelumnya.. Dingin dan membuat menggigil.. Meski batin sang kekasih kini rasanya lebih mirip seperti semarak musim semi.

.

TBC!

Parallel: Koi Ha Muzukashii [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang