Bab 4

1.8K 162 6
                                    

Terkadang, di saat-saat canggung seperti ini, Haru sangat beryukur akan kemampuan seorang penyiar radio dalam memulai topik pembicaraan. Seberapa pun tak pentingnya, seburuk apa pun suara sang penyiar, seratus kali lebih baik daripada kesunyian yang membunuh. Terjebak dalam kemacetan adalah hal terakhir yang ia inginkan hari ini. Di dalam mobil berdua dengan seseorang yang belum pernah menghabiskan waktu yang kasual bersamamu sebelumnya, setelah basa-basi kehidupan habis dikupas, apa lagi yang tersisa kecuali pembicaraan dari hati-ke-hati?

"Sepertinya lebih baik kalau kita berhenti sebentar dulu di suatu tempat sampai macetnya mereda. Aku sama sekali tidak menyangka akhir pekan ini akan seramai ini..," gerutu Ryosuke yang sudah tak punya cukup amunisi kesabaran untuk berdiam diri lebih lama.

Haru ingin menjawab, "Ini semua karena festival kembang api itu." Tapi ia sudah mengucapkan hal yang sama berulang-ulang sejak mereka ada di mobil ini, jadi ia memilih untuk berpuas diri dengan anggukan lemah. "Kalau ayahmu mau menunggu, boleh-boleh saja."

"Jadinya bakal sampai rada malam, sih. Tapi tidak apa-apa.. Kalau nanti ternyata hasilnya buruk kan jadi kita bisa punya alasan kabur lebih cepat karena sudah larut, haha," canda Ryosuke pahit. Meski keduanya sudah sangat muak dengan keadaan ini, tapi tidak ada yang mengamuk atau menebarkan bibit-bibit negatif. Suasana yang mereka susun adalah hasil dari pemahaman masing-masing bahwa rencana hari ini tidak boleh buyar karena emosi. Bahwa sebisa mungkin mereka harus membawakan semuanya dengan ikhlas dan tanpa beban, demi totalitas peran.

Haru sebenarnya sama sekali tidak dalam mood untuk menghabiskan waktu bersama orang lain. Pasalnya, kemarin malam ia harus memaksakan dirinya mendengarkan pembicaraan yang paling ia hindari. Segalanya murni permainan nasib buruk. Haru tidak pernah punya urusan di Nakano, dan sekalinya ia punya, ia mengakhirinya dengan sebuah pertemuan tak sengaja. Ia tahu pasti bahwa kantor Sagami hanya berjarak beberapa ratus puluh meter dari pintu masuk utama metro, tapi mengapa harus di saat itu, di detik itu, ia mendapati pria itu mengantar pulang seorang perempuan yang ia tidak kenal.

Sekali melihat saja sudah tahu, ia adalah perempuan yang ditunggu-tunggu oleh Sagami. Perempuan yang menurutnya akan menjadi istri sempurna, tapi bukan kekasih terbaik. Terlepas dari kebebalannya, sesungguhnya Sagami adalah seseorang yang menganggap serius saran seseorang, asalkan hal itu sejalan dengan apa yang sudah ia pernah pikirkan sebelumnya. Hubungan romantisme seperti yang Haru pikirkan sama sekali tidak ada tempatnya di kepala pria itu.

Haru menyapa Sagami yang baru saja berpisah dengan pasangannya. Lalu mantan teman sekelasnya itu mengajaknya untuk menghabiskan sejam singkat di kedai sake terdekat. Sesuai tebakan, perempuan berambut cepak rapi itu adalah calon istrinya. Mereka dulu satu kelab di universitas dan setelah reuni akbar beberapa minggu lalu, keduanya kembali berhubungan. Awalnya keduanya sama sekali tidak tertarik menjalin hubungan serius, tapi setelah mengetahui bahwa keduanya sama-sama memandang pernikahan sebagai salah satu tujuan penting manusia yang harus dibangun dengan logika daripada perasaan, tali perjanjian pun tertaut. Setelah kedua orang tua masing-masing saling berkenalan nanti, maka pernikahan akan menjadi sesuatu yang bukan lagi angan-angan.

"Sayaka sendiri bukanlah perempuan yang sarat akan sifat kewanitaan. Tapi ia mengatur apartemennya dengan rapi dan apik, dan ia sudah mengurus semuanya sendiri selama 10 tahun. Kau tak bisa menebaknya, kan? Maksudku.. penampilannya yang ringkas itu memberikan kesan bahwa ia wanita berdikari yang tak mau dikekang pernikahan. Tidak salah, sih.. Tapi pernikahan yang ia inginkan denganku adalah sebuah pengecualian. Kami sama-sama ingin punya anak, ingin punya status yang baik di masyarakat, ingin membahagiakan orang tua, dan yah.. terdengar dangkal sih, tapi banyak kemudahan dari pemerintah yang bisa kita dapat jika tercatat sebagai keluarga. Aku rasa, justru bertemu dengan perempuan yang seperti ia di jaman sekarang ini adalah sesuatu yang lebih sulit daripada wanita yang menganggap pernikahan adalah solusi tertinggi dari keinginan beromantisme."

Parallel: Koi Ha Muzukashii [BL]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang