03

752 52 3
                                    

"Maaf.."

"Gapapa, Liliyana..."
Pak Hendra tersenyum kearah gue. Gue membalasnya dengan senyuman tipis, sabar banget nih orang,  kalo gue yangkesamber celana dalem di tengah-tengah mall, mungkin si curut Jonatan udah gabisa hahahihi lagi. Tuh anak bakal mati gue samber geledek. Senior gue pas di kampus ini kerja di perusahaan produk makanan terkemuka, dan kebenerannya lagi, dia klien yang dari tadi kita tungguin.

"Ini, ehm... maksudnya nanti bapak bisa bicara aja sama pak Jonatan, beliau presdir baru di kantor kami.."

Mereka berdua berjabat tangan. Gue mengalihkan pandangan kearah Jonatan, tuh anak masih nunjukkin wajah ga berdosanya, seperti biasa, dia akan berubah serius jika bicara mengenai perusahaan.

"Kalau begitu, besok bapak bisa datang langsung ke kantor kami... senang bertemu," si demit bangkit dari kursinya.

"Saya permisi dulu, pak Hendra" gue membungkuk seraya mengekor langkah lebar jonatan.
"Tunggu-"
Gue dan Jonatan berhenti, berbalik kearah Pak Hendra.
"Itu- maksud saya, Liliyana... apa kamu punya waktu sebentar?"

"Saya-"
"Maaf sekali, Pak Hendra. Sepertinya Liliyana masih banyak pekerjaan yang dia harus selesaikan..." Pupus sudah harapan gue, giliran ada kesempatan emas kaya gini, si curut ini malah mengacaukan semuanya. Dosa apa yang gue lakukan sampe diusia gue sekarang ada aja manusia terkutuk macam Jonatan yang buat gue seret jodoh?

Pak Hendra hanya mengangguk. Sedangkan gue? Tau perasaan Cinta pas Rangga mau berangkat keluar negeri ga?

Gue buka pintu mobil dengan kasar. Kali ini gue biarkan si demit megang kemudi. Udah capek seharian ini ngintilin dia, gue biarkan harga diri gue terinjak-injak, sampe kehilangan kesempatan yang paling gue tunggu.

"Mba..."

Gue menatap keluar jendela. Membelakangi demit yang manggil-manggil gue. Persetan udah! Mau nih anak besok mecat gue kek, apa kek... gue udah gaperduli.
"Liliyana,"
Mobil demit berhenti. Gue masih ngga mau noleh.
"Gini, gue tau- elo naksir Hendra 'kan? Tapi lo tau ga... Hendra udah punya istri? Jadi perawan tua masih lebih baik daripada lo jadi perebut suami orang, Yana."

Kuping gue panas. Akhirnya gue membalikkan tubuh, menatap si demit dengan wajah yang merah menahan tangis. "Lo tuh anak kecil, tau apa sih? Lagian-"

"Lagian apa? Lo pernah ngga, mikirin perasaan istrinya Hendra nanti? Ok, katakanlah elo sama Hendra cuma dinner bareng, tapi apa iya- istrinya ngga ketar-ketir nungguin di rumah?"

Gue menggigit bibir gue sendiri. Nih air mata kenapa rese banget sih, pake turun segala.

"Jangan digigit-gigit gitu, berdarah ntar"

Dia menangkup kedua pipi gue. Ini beneran demit yang gue kenal? Kok iya jadi bening gini sih. Gue menunduk menghindar, tapi dia tetap menahan wajah gue untuk tidak menunduk. Ngga- jangan- jangan bilang dia mau nyium bibir perawan gue. Tapi sesuai yang kalian prediksi, dia semakin mempertipis jarak wajah kami berdua. Gue hanya mampu terpejam, sampai akhirnya bibir dingin itu menyapu setiap inchi bibir gue.

0-0-0-0

Hari-hari berikutnya jadwal gue dan demit makin padat. Demit seperti biasanya- tiap hari ada aja yang bikin gue marah-marah. Dari dia yang hobi keluyuran kalo lagi banyak kerjaan, sampai hinaannya yang bikin nyesek.

"Mba..."
"Apa?"
"Makan yuk..."
"Ogah, itu dibawah juga bisa kan..."
"Tapi gue maunya sama lo..."

Tuh, gimana gue ngga risih coba? Nih anak kadang suka keterlaluan. Makan harus sama gue, kemana-mana sama gue, terus kapan gue nyari jodohnyaaaa? Gimana caranya para pujangga kece macem Reza Rahardian tau kalo seorang Liliyana Natsir lagi jomblo sementara gue selalu sama si demit ini?

Annoying BossTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang