Fanmeet 3: Bisikan Boom dan Tawa Toey

823 63 2
                                    

Ini gila.

"Waah, jadi seperti ini ya apartemennya P'Toey?" Boom menatap kagum ruang apartemenku.

Ini benar-benar gila.

Boom menoleh padaku, "Kamarnya ada berapa P'?" tanyanya.

Aku menelan ludah sebelum menjawab, "Satu."

Bola mata Boom membesar. Dia menatapku dan Peak bergantian. "Lalu, dimana aku tidur nanti?" tanyanya lirih.

Peak terkekeh lalu merangkul aku dan Boom di kedua lengannya. "Apa sih yang kalian berdua ributkan? Jangan khawatirkan soal tempat untuk tidur."

Boom mengerjapkan matanya yang sipit, "Memangnya dimana P'? tanyanya lagi.

Peak merangkul kami lebih erat lalu berbisik, "Malam ini ... kita bertiga akan tidur bersama," desahnya.

Aku meronta melepaskan rangkulannya. "Apa-apaan sih kau ini?" seruku. Kata-kata Peak benar-benar membuatku malu. Tidak hanya itu, aku juga melihat wajah Boom memerah.

Peak tertawa lagi. "Kalian kenapa sih? Kenapa kalian jadi salah tingkah begitu?" Peak menatap kami bergantian dengan geli. "Waaah, jangan-jangan kalian memikirkan 'tidur bersama' yang lain ya? Mengakulah! Mesum sekali sih kalian!" tudingnya.

"Tidak benar!" aku dan Boom menyangkal bersamaan.

Tawa Peak semakin menjadi-jadi.

Boom menggaruk kepalanya dengan kikuk. Mataku bertabrakan dengan matanya ketika dia melirikku. Aku cepat-cepat memandang ke arah lain.

Ini benar-benar gila. Memalukan! Kenapa aku bisa salah tingkah seperti ini sih. Ayolah, bersikaplah normal, seperti Toey yang biasa! Aku tidak boleh terpengaruh dengan keisengan Peak. Wahai jantungku, tolong berhentilah berdebar dengan begitu keras!

"P'Toey," Boom memanggilku.

"HAH?" aku tak sengaja meninggikan suaraku. "Kenapa?" ucapku dengan lebih pelan.

Boom tersenyum kikuk, "Aku ingin ke kamar kecil," jawabnya.

Aku mengangguk dan menunjukan kamar mandiku. Ketika Boom sudah masuk ke dalam kamar mandi, aku langsung menarik Peak dan berbisik padanya, "Apa sih yang kau lakukan Peak? Jangan menggoda kami seperti tadi! Dari semua orang hanya kau yang paling tahu perasaanku, kenapa kau berbuat begini?"

Ya. Aku sudah menceritakan semuanya pada Peak. Dia tahu semuanya tentangku, tentang hubunganku dengan Boom, tentang perasaanku, tentang ketakutanku, semuanya.

Peak tersenyum, dia mengelus rambutku dengan lembut. Ini kebiasaannya saat dia ingin membuatku tenang. Dia berbicara, "Justru karena aku sangat mengenalmu, makanya aku mencoba membuatmu dekat kembali dengan Boom."

Aku coba memprotesnya tapi dia memberi isyarat dan menyuruhku untuk diam. Peak kembali melanjutkan bicaranya, "Kau ini tipe orang yang terlalu banyak memikirkan tindakanmu, karena itulah kau malah jadi pusing sendiri kalau berurusan dengan hal yang berkaitan dengan hati. Dengar Toey, kadang untuk urusan hati, kita hanya harus mengikuti suara hati kita, tidak perlu pusing dengan suara kepala kita. Banyak kecemasan dan ketakutan yang akan diberikan oleh kepala kita, tapi jika kita mencoba mendengarkan hati kita, semua kecemasan dan ketakutan itu tidak akan ada artinya lagi."

"Bukannya sudah lebih dari cukup jika kita menyukai seseorang dan orang itu juga menyukai kita?" ucap Peak lagi. "Kenapa kita harus pusinh memikirkan hal yang lain?"

Mendengarkan suara hati?

Tidak mempedulikan pikiran kita?

Apa itu benar? Bukannya itu justru akan membuatku jatuh ke dalam masalah yang besar? Bagaimana jika hatiku salah mengartikan dan malah membuat hidupku menjadi kacau? Bagaimana jika aku menyesali perbuatanku?

Make It RealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang