Chapter 17

262 23 2
                                    

Air mataku mengalir sangat deras, membasahi pipiku. Aku menunduk, tak kuasa menatap wajahnya, karena itu justru akan memperburuk perasaanku, "Ini hanya.. tolong beritahu aku kalau ini hanya sekedar mimpi"

"Andai ini mimpi," gumamnya, namun masih terdengar olehku.

Aku berusaha menenangkan diri, meyakinkan diriku bahwa ini tidak benar, "Bagaimana bisa, kita, saudara? Hahah, yang benar saja"

Aku berusaha tertawa, namun ucapannya kali ini benar - benar membuat lidahku kelu, tenggorokanku kering, dan aku tak bisa berkata apapun, "tapi sayangnya ini kenyataan, adikku"

Adikku?

Baiklah, Jihee tenang. Aku berusaha mencerna kata - katanya barusan. Adikku? Jadi dia percaya kalau aku ini adiknya? Ada apa dengannya.

"Kau bodoh Park Jimin! Bodoh sekali! Otak mu kau taruh mana, huh? Kau ini idiot atau bagaimana, bisa - bisanya percaya dengan omong kosong seperti itu. Kau bodoh, tolol, idiot! Aku benci denganmu"

Jimin berusaha terlihat santai walaupun aku tahu bahwa dia berjuang setengah mati untuk menyembunyikan rasa sedihnya.

"Iya aku memang bodoh, tolol, dan idot percaya dengan omong kosong itu. Iya ini memang tidak masuk akal, bagaimana bisa aku dan kau seperti ini? Kadang aku juga berpikir seperti itu, tapi Jihee-ah, kenyataan kadang memang tidak bisa dipercaya, dan mau seberapa keras pun kau menolaknya, tetap itulah kenyataannya. Itu takdir"

Aku menutup mulutku, sungguh aku tak pernah merasa sesakit ini. Dadaku sesak, air mataku tak mau berhenti, otakku terus memaksa memikirkan kenyataan pahit ini, "TIDAK MUNGKIN"

Aku berlari secepat mungkin menjauh dari Jimin, tidak menghiraukan teriakannya yang sedari tadi memanggil namaku.

Tidak mungkin. Ini sungguh tidak mungkin.

Kata - kata itu terus terulang di pikiranku.

***

Aku membanting pintu sekencang - kencangnya, dan melihat eomma sedang duduk melamun di sofa.

Eomma terlihat bingung sekaligus cemas melihatku, "Jihee-ah, kau kenapa? Ada apa denganmu?"

Ia mencoba memelukku, namun aku mengelaknya, air mataku sudah habis sekarang, "Tolong katakan ini tidak benar" ucapku dingin.

"Apa? Apa yang tidak benar?"

"Tolong katakan kalau aku dan Jimin bukan saudara. Tolong katakan kalau, ia bukan kakakku. Tolong katakan itu, eomma!!!" emosi ku meledak, aku benar - benar tidak bisa berpikir dengan jernih sekarang.

Ia terkejut, matanya mulai berkaca - kaca, tidak menyangka aku akan membentak nya seperti ini,
"Jihee-ah—"

"Kau tidak berani mengatakannya? Jadi, ini benar? Semua ini benar? Jimin adalah kakakku, dan aku adiknya, dan kami adalah saudara. Maksudmu—" Aku tidak bisa melanjutkan kata - kataku. Susah rasanya untuk mengungkapkan kekesalan yang ada dibenakku saat ini.

Entah, aku tidak bisa mengungkapkan perasaanku saat ini. Intinya, aku sakit. Sakit sekali. Perih rasanya menerima kenyataan ini. Aku tidak sanggup, sungguh. Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang menanggung semua rasa sakit ini?

Aku berlari ke kamar, menutupnya sekencang mungkin, dan menangis sejadi - jadinya. Bisa kudengar teriakan eomma memaksaku untuk keluar, tapi aku tidak ingin menghiraukan nya.

different ways ;pjmWhere stories live. Discover now