185 words, rhetoric

380 17 2
                                    

Aku mencintainya. Dia tidak. Bukan mencintai aku. Ayolah, pahami sekali lagi kalimatnya. Jangan terlalu melankolis. Coba sekali-kali hadapi kenyataan. Aku mencintainya. Dia tidak. Dia benci dirinya. Entah kenapa. Bagaimana aku tahu? Aku disekitarnya hampir seperti kupu-kupu. Aku lihat, dia tidak. Dia berbicara, aku yang tidak. Yang paling jelas adalah. Dia mendengar pikirannya. Aku tidak. Jadi, sekali lagi. Bagaimana aku bisa tahu? Cukup bagiku untuk mengerti sendiri. Dia membenci dirinya. Melebihi rasa bencinya pada apa pun. Menyedihkan. Dia saja benci, bagaimana orang lain? Terlalu banyak bagaimana. Tapi itu retorika. Buat apa juga dijawab. Dia benci dirinya. Bagaimana aku bisa mencintainya? Nah, itu juga retorika. Jangan dijawab. Bukan karena tak ada jawaban. Hanya tak ada yang benar-benar bisa menjawabnya. Pikirkan baik-baik. Apa mencintai butuh banyak alasan? Kata orang, hujan saja turun tanpa banyak tanya. Mencintai juga seperti itu. Seperti hujan. Tapi, bertahan butuh alasan. Berbeda, bertahan mencintai butuh pengorbanan. Tak muluk. Hanya satu permintaan yang jadi syarat. Untuk diriku sendiri. Untuk seberapa lama aku bisa bertahan, hingga akhirnya berhenti. Aku, ingin dia jadi dirinya sendiri. Mencintai dirinya. Seperti bagaimana aku merasakannya. Seperti hujan.

February, 28 2017
Love

PostscriptTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang