…..….
“Nichol!” gadis itu berseru parau, matanya melihat ke kanan dan ke kiri mencari sosok laki-laki yang ia cintai. Berbaring kaku di atas ranjang pasien di sebuah kamar rumah sakit, selang oksigen tertancap di hidung yang menghubung ke paru-parunya.“Nichol!” panggilnya lagi, kali ini suaranya semakin melemah dan semakin serak. Mata nanarnya mulai menangkap sosok tegak berdiri di depannya, tidak jelas namun gadis itu tersenyum, ada rasa bahagia dibalik senyumnya. Sosok di depannya diam terpaku tanpa reaksi apapun, wajahnya memerah menahan sesuatu yang membuatnya ingin memberontak, antara marah, tertekan dan sakit. Dadanya terasa sesak melihat gadis itu terbaring tak berdaya, gadis penuh emosional yang selalu ceria, gadis yang berhasil menumbuhkan rasa cintanya.
“Nichol!” gadis itu berseru lagi, tangannya yang lemah mulai terangkat hendak menyentuh wajah sosok di depannya. Namun sosok itu semakin menjauh, semakin mengecil dan akhirnya hilang diantara beberapa orang yang datang mengelilinginya. Ada tiga orang berjas putih dengan panik memegang defibrillator dan menekankan ke dadanya. Sebagian orang yang mengelilinya mulai terisak dan pasrah. Gadis itu tersenyum samar, kemudian perlahan matanya mulai tertutup dan akhirnya semua terasa gelap.
……….“ALINE!!” Nichol berteriak keras diantara bisunya malam, mimpi itu datang lagi.
Dengan nafas yang masih naik turun, Nichol bangkit dari tidurnya, menghampiri kaca besar di samping lemari, Itu kaca biasa, namun bagi Nichol itu bukannya hanya sekedar kaca, ia adalah cerminan dari dia, dia yang sampai saat ini masih ia cintai. Nichol berdiri mematung, menatap pilu ke dalam kaca, di samping kaca ada sebuah foto yang sangat besar, sebesar lukisan. Dalam bingkai foto tersebut ada dirinya dan seorang gadis cantik sedang tertawa menghadap kamera. Mata cowok itu beralih pada foto tersebut, dan menyentuhnya.
“Aline. Aku Rindu,” ucapnya serak, matanya merah menahan desiran air yang sudah terbendung dipelupuk. Ditundukkan kepala cowok itu hingga menyentuh bagian bawah bingkai, perlahan akhirnya air mata itu tumpah. Ia mencoba menahan rasa sesak di dadanya dengan menekan keras, rasa sakit itu masih terasa sampai saat ini. Rasa sakit karena ditinggalkan orang yang ia cintai.
***
Sejak dua minggu yang lalu. Dira yang tiba-tiba suka bertengger manis bergabung dengan Thalia dan Mita di kantin, akhirnya mereka mulai terbiasa bersama. Terkadang kalau Nichol sedang tidak sok sibuk dan setan baiknya datang dengan tiba-tiba masuk sekolah, cowok itu juga bergabung dengan Thalia, Mita, dan Dira.
Prinsip yang Nichol pegang sejak tiga bulan yang lalu untuk tidak dekat dengan cewek manapun dan hanya mau berteman dengan laki-laki (tidak ada tanda petik: gay :D) perlahan mulai pudar. Gara-gara prinsip yang ia buat sendiri, Mita yang temannya sejak kecil sempat tidak dihiraukan olehnya. Tapi sekarang, perlahan semua mulai berubah, ia berpikir tidak ada salahnya berteman dengan ketiga anak tersebut.
Mita yang sudah dikenalnya sejak kecil sudah dipastikan bahwa cewek itu tidak akan aneh-aneh, dan Thalia sepertinya gadis yang baik dan tidak akan mengganggunya, meskipun kadang membuatnya curiga karena sikapnya tiba-tiba saja sulit ditebak, dan Dira sudah jelas tidak ada syarat apapun baginya. Dira adalah temannya sejak ia MOS dulu, dan Dira teman yang baik, sedikit banyak cowok itu mengetahui tentang hidupnya, terutama tentang Aline.
“Nichol mana?” tanya Thalia sambil menyesap es jeruknya.
“Bolos mungkin, hari ini ulang tahun Aline,” Dira menjawab cepat namun tiba-tiba matanya terbelalak ke arah Mita dan menutup mulutnya dengan sebelah tangan.
Thalia yang sudah terlanjur mendengar langsung penasaran apa maksud Dira. “Aline? Siapa?”
Dira tidak langsung menjawab, ia malah kembali menoleh Mita yang sedari tadi melotot, dikedipkan matanya berharap Mita mau membantunya. Hening.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Rain [Hiatus U/ Beberapa Hari Ke Depan]
Ficção AdolescenteHanya karena melihatmu tertawa di bawah hujan. Aku bisa mencintaimu sedalam ini. --Nichol--