3. N

272 35 11
                                    

"Malaikat mana coba yang rela keujanan demi kamu Van, dan dijatuhin secara sadis kayak tadi, kalau bukan aku?"

-Guntur Dillon-

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Jika Neva boleh jujur, ia sendiri bahkan tak tahu arah tujuan kemana ia akan pergi. Pikirannya kosong. Buntu. Namun, masih lebih baik ketimbang ia hanya duduk manis di apartemennya sambil mendengarkan Mantra bernyanyi.

Neva memandangi rintik air yang masih mengguyur kota. Sebenarnya ia tak membenci hujan. Ia menyukainya. Seperti yang dikatakan Mantra, hujan itu membawa berkah. Namun, tidak dengan hujan kali ini, yang hampir turun setiap hari selama nyaris setahun penuh.

Tentu saja semua itu terjadi karena ulah Mantra. Setiap bidadari itu galau, dengan iseng ia akan membuat hujan turun. Katanya, menyenangkan jika melihat langit menangis. Ia jadi merasa jika Langit Loukas juga sedang menangisinya. Ya ampun, kesimpulan yang terlalu egois!

"Vania!"

Neva mendelik. Memandang atap mobil taxi yang diketuk berkali-kali oleh Guntur.

"Apaan sih?" jawab Vania dengan ketus melalui pikirannya.

Neva tersenyum simpul. Rasanya akan lebih baik jika Guntur tak mendengar perkataannya barusan. Namun, Guntur terlalu ahli dalam melakukan telepati. Malaikat itu malah memanggil namanya berulang-ulang.

"Itu lihat ke depan!"

"Ini juga udah lihat ke depan, Guntur."

"Berarti lihat cewek yang baru nyebrang barusan 'kan? Cantikan mana dia sama kamu dan Mantra?"

Neva memutar kedua bola matanya, malas. Ia mengalihkan pandangan pada jendela di sampingnya yang telah dipenuhi embun.

"Vania?"

"Jawabannya sederhana, menurut kamu kalau aku aduin hal ini ke Mantra, bulu sayap kamu bakal aman dari cabutan sadisnya dia gak?"

Guntur terkekeh. "Jangan diaduin dong."

"Makanya diem!"

Mendadak Neva terpaku. Bola matanya terpusat pada satu titik di tengah keramaian orang-orang yang sedang berteduh di depan pintu sebuah mall.

Neva memicingkan matanya. Menajamkan pandangannya pada titik yang masih membaur dengan orang di sekitarnya. Sialnya, yang ditatap Neva malah bergerak makin menjauh.

"Stop, Pak!" serunya tiba-tiba membuat supir taxi terpaksa menginjak rem mendadak. Ia memberikan selembar uang kertas dan bergegas membuka pintu. "Kembaliannya ambil aja ... aaargh!"

Neva melonjak kaget saat dilihatnya Guntur telah berbaring di dekat pintu taxi yang baru saja ia buka. Malaikat itu meringis kesakitan sambil berusaha bangun dan berdiri.

"Guntur ngapain kamu disitu?" tanya Neva di dalam pikirannya sambil melotot ke arah Guntur.

Guntur mendesah pelan sambil mengepakkan sayapnya untuk membuang air yang terjebak diantara bulu-bulu putihnya.

"Ini salah kamu, Van. Tiba-tiba berhenti mendadak," keluhnya sambil berbicara biasa saja. Toh ia berteriak sekencangnya pun hanya Neva yang akan menutup telinganya.

"Maaf deh," ucap Neva sambil terkekeh. Ia langsung keluar dari taxi begitu Guntur mundur satu langkah untuk memberinya jalan.

"Malaikat mana coba yang rela keujanan demi kamu Van, dan dijatuhin secara sadis kayak tadi, kalau bukan aku?" Guntur mulai mendramatisir perkataannya yang membuat Neva jijik seketika dan melupakan rasa bersalahnya pada malaikat itu. "Kenapa sih berhenti mendadak? Mau belanja? Ada diskonan?"

Ah! Untung Guntur mengingatkannya lagi alasan Neva buru-buru turun di sebuah mall. "Bukan! Bukan itu. Di sana ada Langit," pekik Neva sambil menunjuk kerumunan orang-orang.

"Langit mana dulu nih?"

Neva mencebik. "Sumpah lemotnya gak pernah ilang."

Neva langsung berlari meninggalkan Guntur. Lagipula malaikat itu pasti akan menyusulnya segera. Yang harus dipikirkannya saat ini adalah Langit. Langit yang tadi dilihatnya berdiri di antara orang-orang itu dan mulai bergerak menjauh.

"Dia udah pergi dari sini." Neva bercerocos sendiri dengan mata yang masih memindai orang-orang disekitarnya. "Kita cari ke dalam!"

Neva berjalan cepat kali ini. Tak mungkin ia berlarian di dalam sebuah mall. Bola matanya bergerak ke segala arah dengan cemas. Sesak di dada yang dirasakannya membuatnya justru semakin tak tenang.

Jantungnya berdebar sangat kencang sejak ia melihat Langit ketika di taxi tadi. Frustasi dan takut kehilangan jejak Langit membuatnya justru tak bisa fokus berjalan. Neva jatuh karena terpeleset lantai yang licin.

"Kamu gak apa-apa?" Guntur membantu Neva berdiri. Neva hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan malaikat itu barusan.

"Dari tadi aku gak lihat Langit dimanapun. Kamu yakin Langit ada di sini? Bukannya dia lagi pergi ke Korea?"

Lagi-lagi Neva mengangguk. "Dia gak ke Korea. Dia ada di sini. Aku yakin. Aku lihat dia dalam mode penyamaran barusan. Langit pakai baju warna coklat, rambutnya hitam, dan dia bawa ransel."

Guntur mengernyitkan alisnya, memandang aneh ke arah Neva yang masih fokus mencari sosok Langit yang tadi dijelaskannya.

"Itu, Guntur! Di lantai dua. Itu pasti Langit," pekik Neva menunjuk pada laki-laki berbaju cokelat yang sedang berjalan entah kemana. "Gawat! Terlalu jauh kalau aku ngejar ke sana. Langit pasti keburu ilang lagi."

"Biar aku aja. Nangkap si sialan itu sih gampang. Tapi, sebelum aku pergi, aku pengen tau kenapa kamu bisa tau kalau itu Langit?"

Wajah Neva mendadak bersemu merah. Ia tersenyum malu-malu sambil mengalihkan pandangan. "Ada ujung rambut Langit yang kayaknya kelewat dan gak berubah warna jadi hitam."

Guntur terlihat terperangah dengan jawaban Neva barusan. Malaikat itu justru tak beranjak dan malah menatap Neva lekat-lekat.

"Apa?"

"Ketauan deh kalau kamu cinta banget sama Langit," goda Guntur sambil memgedipkan salah satu matanya dan tersenyum penuh arti.

"Apaan sih?" Neva menunduk, menutupi wajahnya yang semakin memerah. "Buruan sana kejar Langit!"

"Iya! Iya!"

Wusss! Dalam sekejap Guntur telah terbang meninggalkan Neva. Neva sendiri tak ingin membuang-buang waktu. Langkahnya tergesa menuju eskalator. Menyusul Guntur yang telah menangkap Langit di lantai dua.

"Vania, aku udah bawa Langit ke tempat paling sepi di lantai dua. Kamu jalan lurus terus sampai ujung. Nanti belok kanan. Kita ada di pojokan. Buruan sebelum Yayang kamu kabur lagi," ujar Guntur melalui telepati sambil terkekeh menggoda Neva.

Neva mendengus. "Tutup mulut kamu. Kalau engga, aku gak akan ngijinin kamu pulang ke apartemenku lagi."

Neva mencebik saat mendengar tawa Guntur yang menggelegar di dalam pikirannya. Ya ampun! Kenapa juga ia harus mempercayai malaikat sinting seperti Guntur? Buru-buru ia mempercepat langkahnya. Hal yang buruk jika Guntur membocorkan tentang perasaannya pada Langit. Uh! Menyebalkan!

● ● ●

Diterbitkan tanggal :
20 Maret 2017

(955 kata)

Salam, Fe 😄😄

Mantra HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang