Rumah-rumah terbuat dari kayu berjajar rapi di tengah Desa Ravel. Di jalan depan rumah paling ujung, tampak gadis kecil dengan rambut berwarna emas. Berbeda dengan anak-anak lainnya yang memakai seragam dan berpamitan pada orang tua untuk berangkat sekolah, gadis itu akan pergi ke kebun bunga. Ia mengenakan blus kerja, rok, dan celemek yang dijahit khusus sesuai ukuran tubuhnya.
"Hati-hati berangkat sekolahnya, Dik!" kata gadis kecil.
"Kak Mini juga hati-hati ya!" Gadis remaja melepas gandengan lalu melambaikan tangannya.
Pemandangan itu terasa aneh. Gadis yang lebih tinggi dan sudah remaja memanggil "Kakak" kepada anak kecil yang tadi digandengnya. Mereka berjalan kaki beriringan.
"Iya, Dik Isda! Sampai jumpa!"
Anak kecil berbelok ke jalan yang berbeda. Dua perempuan bersaudara itu berpisah dengan senyum ceria. Begitulah, mereka berangkat ke tempat aktivitasnya setiap pagi.
Sang kakak, Mini Vian memang berbadan kecil. Wajah cantik dan tubuh mungilnya setara anak usia lima tahunan. Namun siapa sangka, sesungguhnya ia telah berusia dua puluh tahun. Sedangkan sang adik, Isda Vian berumur lima belas tahun. Ia masih duduk di bangku Sekolah Tingkat 3 atau tingkatan terakhir.
Gadis mungil yang biasa dipanggil Mini sampai di kebun bunga milik kedua orang tuanya. Di sinilah tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu. Merawat bunga berbagai jenis menjadi kesibukannya sejak lulus Sekolah Tingkat 3. Memandangi bunga beraneka warna dapat membahagiakan hati. Seolah hanya bunga-bunga yang mengerti perasaannya.
Mini tidak sama dengan Isda, adiknya. Bahkan, ia juga tidak selayaknya anak-anak lain yang tumbuh semakin dewasa. Tubuh Mini tetaplah seukuran anak usia lima tahun, walau umurnya lebih tua empat kali lipat. Ia sama sekali tak mengerti, apa penyebabnya? Berulang kali ia meminta penjelasan pada ayah dan ibunya. Seumur hidup, benaknya dipenuhi pertanyaan.
Jangankan orang-orang yang heran, Mini sendiri pun tidak tahu jawabnya. Mungkin ini akibat dari Tuan Nico dan Nyonya Dita memberi nama anaknya Mini yang berarti "kecil." Atau, Mini terkena kutukan? Tapi, orang tuanya selalu menjawab, "Tidak." Satu-satunya kalimat yang membuat semua orang berhenti bertanya: "Ini adalah takdir Tuhan."
Sambil menyirami bunga-bunga, Mini mengeluh dalam hati. Siapakah anak-anak yang tidak ingin tumbuh dewasa? Setiap anak, baik lelaki atau perempuan, semua tidak sabar menjadi besar. Pasti anak-anak sangat iri saat mendatangi pesta pernikahan—melihat pasangan pengantin bagaikan raja dan ratu. Lalu, mereka menggumam, "Kapankah aku dewasa? Agar bisa menjadi pengantin seperti mereka?"
Tidak hanya anak manusia, bahkan anak-anak satwa ingin segera tumbuh sehebat induknya. Bibit kecil ingin cepat-cepat tumbuh setinggi pohon agar segera berbuah. Juga, bunga-bunga di kebun ini selalu berharap lekas tumbuh dan mekar. Supaya elok, warna, dan harumnya dapat dibanggakan oleh mata yang memandang. Mini menaburkan pupuk di atas tanah. Segala keinginan hatinya ditujukan pada bunga.
"Biarlah. Kalau memang aku tidak bisa tumbuh, biar bungaku saja. Tumbuhlah bunga-bunga! Jangan layu dan mati!" ucap Mini sambil tersenyum.
Pada pagi yang cerah, matahari telah bangun dari tidur lelapnya. Cahaya sang surya memancar dari balik Gunung Atingga. Inilah suasana di sebuah desa terpencil, Desa Ravel. Meski termasuk wilayah Kerajaan Stepa, letaknya lebih dekat ke perbatasan, yaitu Hutan Rambia. Pemukiman lebih sedikit dibanding lahan perkebunan. Sebagian besar penduduknya berkebun bunga dan buah-buahan. Berbagai macam tanaman dibudidayakan di atas tanahnya yang subur. Sungai-sungai mengalir dengan air jernih dan bersih. Udaranya sejuk. Masyarakat hidup sederhana. Desa kecil yang damai ini jauh dari ingar bingar pusat istana.
Kebun bunga yang dirawat Mini semakin menambah keasrian Desa Ravel. Bahkan, kebun inilah yang terindah. Bunga-bunga berwarna ungu, putih, kuning, dan merah menghiasi kebun di ujung timur desa. Pemandangan kebun ini sangat kontras dengan Hutan Rambia di sisi kanannya. Hutan di lereng Gunung Atingga itu sangat gelap dan menakutkan. Tidak ada warga desa yang berani masuk ke hutan itu, terutama pada malam hari. Beredar cerita bahwa tempat itu dihuni makhluk-makhluk ganas yang berbahaya bagi manusia.
Para warga Desa Ravel mengenal Mini sebagai gadis yang sangat baik. Walau tubuhnya seukuran anak-anak, tapi sikapnya anggun dan dewasa. Mini adalah anak pertama dari Tuan Nico Vian dan Nyonya Dita Vian. Mereka pemilik kebun buah terluas di desa ini. Bahkan sebelum banyak pendatang, Tuan Nico dan Nyonya Dita mendiami desa ini pertama kali.
Desa Ravel jarang didatangi oleh petinggi Kerajaan Stepa karena jaraknya yang cukup jauh dari istana. Hanya para pedagang yang membeli buah ke sini sebulan sekali untuk dijual di pasar ibukota. Mereka naik kereta kuda dengan perjalanan dua hari dua malam. Terkadang, Menteri Kerajaan datang mengunjungi Desa Ravel. Itu hanya setahun sekali ketika panen raya. Mereka diundang oleh warga desa untuk memeriahkan upacara adat desa.
Mini sangat nyaman dan bahagia tinggal di Desa Ravel. Ia memiliki keluarga yang sangat baik hati. Tuan Nico, ayahnya dan Nyonya Dita, ibunya sangat perhatian. Juga adik perempuan yang manis, Isda yang selalu menemaninya. Meski secara fisik, mereka sangat jauh berbeda. Keluarga Vian memiliki rambut hitam legam yang lurus. Kulit mereka cokelat sawo matang. Juga mata cokelat gelap. Hanya Nyonya Dita saja yang kulitnya agak cerah dan mata cokelat terang. Namun, itu pun tidak bisa dikatakan mirip dengan Mini.
Penampilan tubuh Mini begitu berbeda dengan keluarganya. Mini mempunyai rambut bergelombang—berwarna emas yang menyala terang. Kulitnya putih agak pucat. Sepasang mata biru seperti laut bening yang indah. Entah dari keturunan manakah yang diperoleh Mini? Perbedaan ciri tubuh Mini dengan keluarganya sangat mencolok. Kondisi badannya sangat menarik perhatian. Untung saja, ia masih sekecil anak-anak. Andai tumbuh dewasa, mungkin semua lelaki di Desa Ravel akan menyukainya.
Sering Mini berpikir, apakah Tuan Nico dan Nyonya Dita bukan orang tua kandungnya? Sangat kecil kemungkinan orang bisa melahirkan anak dengan ciri yang berbeda jauh dari ibu-ayahnya. Tetapi Mini tidak pernah berani mengatakan hal itu. Kebaikan orang tuanya terlalu berharga. Semua itu menutupi rasa gelisah akan jati dirinya. Ia meyakinkan diri bahwa keluarga Vian adalah keluarga Mini satu-satunya. Tidak ada keluarga yang lain. Tidak ada yang bisa menerima Mini sebaik keluarga Vian.
Oleh karena itulah, Mini tidak ingin mengecewakan keluarga. Walau sering diperbincangkan orang yang ditemui di jalan, ia tetap pergi ke kebun bunga. Setiap pagi hingga sore hari, ia merawat bunga-bunga di sana. Seperti juga hari ini, ia berangkat bersama Isda. Sementara adiknya sekolah, Mini bekerja di kebun bunga. Ayahnya, Tuan Nico bekerja di kebun buah. Sedangkan Nyonya Dita, ibunya biasa mengantar makanan ke kebun pada siang hari.
Di tengah batas antara kebun bunga dan buah, terdapat pondok kecil tempat berteduh para pekerja. Ketika matahari semakin menyengat, para pekerja kebun menjadikan pondok itu tempat rehat. Lima orang pekerja beristirahat di teras pondok. Sedangkan Mini berjalan masuk ke sebuah kamar. Rambutnya yang berwarna emas makin berkilauan terkena sinar mentari. Semua mata pekerja memandang kecantikan Mini. Sekecil itu saja, ia sangat menarik perhatian. Tak terbayangkan bagaimana kecantikan Mini jika dewasa.
Mini duduk di sebuah kursi kayu. Di depannya terdapat cermin besar yang memantulkan bayangan dirinya. Ia menyisir rambut emas panjang itu dengan jari-jari tangan yang begitu mungil. Beberapa lama kemudian, datanglah seorang wanita berambut hitam legam. Bayangan yang kontras antara dua orang itu terpantul di cermin.
"Selamat siang, Mini. Apa kamu lelah?" sapa wanita itu.
"Selamat siang, Ibu. Ah, tidak! Aku sangat kuat bekerja," jawab Mini bersemangat.
"Iya deh, Ibu percaya. Anak siapa dulu dong? Anaknya Ibu kan?"
Nyonya Dita meletakkan rantang bersusun dua di meja sebelah kursi. Lalu, dielusnya rambut emas gadis kecil itu.
"Ibu, terima kasih." Mini memeluk erat Nyonya Dita.
"Eh, ini kan udah tugas Ibu setiap hari. Nggak usah berterimakasih lagi! Ayo, makan siang!" Sang ibu tersenyum senang.
Mini mengangguk. Ia segera membuka rantang dan menyantap masakan ibunya yang lezat. Tenaganya pulih kembali untuk melanjutkan pekerjaan di kebun bunga hingga sore hari.
'Mungkin aku beruntung punya ibu seperti Nyonya Dita. Walau teman-temanku punya orang tua yang mirip dengan mereka. Warna kulit, mata, dan rambut yang sama. Tetapi, aku berbeda dengan ibu-ayahku. Apakah ini kutukan atau anugerah-Mu, Tuhan?' batin Mini bertanya.
***
Note: Gambar cover dan semua gambar ilustrasi yang ada dalam cerita ini bukan milik saya. Gambar hanya sebagai ilustrasi. Source: Google.com
![](https://img.wattpad.com/cover/102091496-288-k658378.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Mini Princess (Telah Terbit)
FantasiaDi Desa Ravel, hiduplah Mini Vian. Gadis kecil dengan rambut berwarna emas. Wajah cantik dan tubuh mungilnya setara anak usia lima tahun. Siapa sangka, sesungguhnya ia telah berusia dua puluh tahun. Ia sangat disayangi oleh keluarga, serta dua sahab...