"Selamat pagi, Putri!" Isda menyapa di meja makan.
"Silakan sarapan, Putri Mila!" Nyonya Dita menghidangkan masakan spesial untuk gadis kecil.
"Semoga harimu menyenangkan di rumah kami, Putri!" Tuan Nico menunduk hormat.
Mini baru keluar kamar setelah mandi dan berpakaian pagi ini. Perilaku sopan ketiga orang penghuni rumah itu cukup mengejutkan.
"Kalian ini kenapa? Aku tetap Mini yang sama kan?" protes Mini di ruang makan.
"Setelah saya menceritakan identitas Anda yang sebenarnya, tentu semua berbeda. Anda bukanlah Mini lagi. Ya, sebenarnya dari dulu bukan Mini. Anda adalah Putri Mila Nivia." Tuan Nico mengingatkan.
"Tapi, tidak perlu begitu, Ayah!"
"Ingat, Putri ... panggil nama kami saja! Nyonya Dita. Tuan Nico. Isda." Nyonya Dita seolah memperkenalkan keluarga orang asing.
"Tapi ... aku sudah terbiasa memanggil kalian: Ibu, Ayah, Adik! Kenapa tidak boleh lagi? Aku tidak punya Ibu, Ayah, dan Adik! Bolehkah aku tetap memanggil kalian seperti dulu? Aku sedih kalau tidak punya keluarga." Mini menitikkan air mata.
Keluarga Vian saling berpandangan dan ikut berduka.
"Maafkan kami, Putri. Kami hanya ingin menghormati Anda semestinya sebagai keluarga kerajaan," ucap Tuan Nico lembut, takut menyakiti hati Mini.
"Aku tidak mau jadi keluarga kerajaan! Mereka jahat kepadaku!" tangis Mini semakin keras.
"Putri, jangan menangis!" Nyonya Dita memeluk gadis kecil.
"Baiklah ... kami tetap jadi keluargamu, Kak Mini." Isda memeluk gadis kecil seolah kakaknya seperti dulu.
Tuan Nico pun ikut merangkul anggota keluarganya. Ia tidak kuasa menahan air mata.
"Kami tetap keluargamu, Mini. Maafkan kami." Tuan Nico mengecup kepala dengan rambut emas itu.
"Berjanjilah, kalian tidak pernah berubah padaku! Jangan pernah bersikap dan berkata bahwa aku Putri Kerajaan, apalagi di hadapan warga desa. Aku ingin diperlakukan seperti dulu, Mini Vian. Tidak peduli, siapa sebenarnya aku? Itu hanya masa lalu. Sedangkan kalian yang ada saat ini dan masa depan nanti, kalian tetap keluargaku!"
Mini memeluk erat keluarga Vian yang sangat ia sayangi.
***
Hari-hari Mini kembali seperti semula. Sepanjang hari, ia merawat kebun bunga di ujung Desa Ravel. Tidak ada yang berubah. Warga desa belum mengetahui siapa Mini sebenarnya. Ia tetap ingin dianggap sebagai rakyat biasa. Hanya saja, para warga dan pekerja kebun bunga sering bertanya pada Mini.
"Bagaimana rasanya disuruh Pangeran Vrizy untuk kerja di Istana Stepa?"
"Wah, kamu sangat beruntung, Mini! Pangeran Vrizy sangat baik ya kepadamu?"
"Bagaimana wajah Raja Diandro dan Ratu Sezy?"
"Istana Stepa sangat megah ya! Ceritakanlah pada kami, Mini!"
"Taman istana pasti cantik ya! Aku ingin melihatnya!"
Begitulah, orang-orang ingin tahu masa perantauan Mini. Selama dua tahun sebelumnya, gadis kecil meninggalkan Desa Ravel untuk bekerja di Istana Stepa. Ia menceritakan pengalaman yang menarik itu kepada warga di perkebunan. Juga, saat mereka rehat siang di pondok tengah kebun. Mereka sangat senang dan terhibur mendengarnya.
"Lalu ... kenapa kamu tidak kembali kerja di Istana Stepa, Mini?" tanya seorang warga.
"Ehm ... aku sedang ada masalah dengan sahabatku. Dua orang. Mereka bekerja sebagai Tabib Istana dan Pengawal Kerajaan. Lebih baik, aku berhenti bekerja di istana agar tidak semakin menambah masalah." Mini beralasan.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Mini Princess (Telah Terbit)
FantasyDi Desa Ravel, hiduplah Mini Vian. Gadis kecil dengan rambut berwarna emas. Wajah cantik dan tubuh mungilnya setara anak usia lima tahun. Siapa sangka, sesungguhnya ia telah berusia dua puluh tahun. Ia sangat disayangi oleh keluarga, serta dua sahab...