[3] I know

28 4 0
                                    

Mungkin karena netra kelammu.

Mungkin karena caramu tersenyum.

Atau mungkin karena perangaimu.

Aku sudah jatuh tak tertolong. Tapi hanya diam agar kamu tak tahu.

°°°×°°°

Indah berjalan ringan, kaki mungilnya melangkah pelan. Gerbang sekolah sudah terlihat didepan matanya. Dirinya datang kepagian.

"Ah, bukan Babe gembul yang jaga." gumam Indah kecewa, tapi kakinya tetap melangkah perlahan.

"Pagi, Be." sapa Indah dengan senyum kepada satpam yang sudah tua itu.

"Lo pilih kasih banget ya sama gue?" ucap seseorang dibelakang.

Matanya berbinar dan ingin tertawa saat melihat Babe gembul menyiram tanaman.

"Beralih profesi, Be?"

Babe gembul itu mendelik sebal kearah Indah yang cengengesan tidak karuan, "Gundulmu!"

"Gembulmu!" jawab Indah lalu ngacir pergi sambil tertawa,

Karena tak melihat jalan, hampir saja ia menabrak. Jika nabrak tembok dan benjol, masih ada obatnya. Lah, kalo nabrak doi? Matilah saja!

"Untung aja gue punya rem kaki pakem." gumam Indah sambil menunduk, "Maaf," lanjutnya kearah sosok itu yang juga berhenti secara mendadak, mungkin dia pikir ada anak hilang.

Tapi kata maaf itu tak berbalas, sosok itu hanya berlalu pergi menaiki tangga menuju kelas. Hoodie biru itu selalu melekat dibadannya saat datang dan pulang sekolah sejak 5 hari Indah mengenalnya. Apa hoodie biru itu juga yang akan dilihat Indah pada hari-hari berikutnya?

Indah menghela nafas, ada sesuatu yang tergores rasanya saat sosok itu bersikap acuh.

"Ish, masa bales kata maaf aja gak mau? Hih," Indah kesal dan menaiki tangga dengan menghentakkan kakinya.

Tak peduli walau capek terasa, ia melempar tas-nya yang penuh buku tebal keatas meja dan duduk dengan rusuh.

"Selow, neng. Dikata itu meja beli sendiri," ucap seorang gadis dari belakang. Indah hanya memberi senyum kecil, terpaksa maksudnya.

"Ngapa lo? Udah kayak gembel aja?"

Indah mendelik, chairmate-nya ini doyan sekali menghinanya. Ya...ya...ya..., Indah tau itu hanya candaan.

"Gue kesel... Pi," Indah mencak-mencak, tak perduli tanggapan orang, toh gak ada yang akan comment kan?

Lutfie menatap Indah, lalu tangannya beralih mencubit pipi gembil itu.

"Anak kecil gak boleh marah-marah! Ntar cepet tua." Sungguh kejam, bukannya bikin mood naik, ini malah bikin tambah turun.

Aishh,

Pintu terbuka, menampilkan sosok guru yang sudah lumayan tua.

Guru itu mengabsen satu persatu. Sebenernya Indah bisa saja tau namanya siapa, tapi masa iya setiap nama dipanggil, Indah harus menengok siapa yang angkat tangan? Kan capek!

Setelah guru itu selesai mengabsen, kami dititahkan untuk membuat kelompok. Satu kelompok berisi sembilan orang.

Dan yah seperti biasanya, dengan teganya Lutfie meninggalkannya sendiri dan memilih kelompokkan dengan orang baru.

SecretTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang