Part 10

2K 186 12
                                    


Saat ini Asta sudah duduk berdua dengan Galih di salah satu restoran yang ada dirumah sakit. Tadi sewaktu Galih datang, kebetulan Mama Asta sedang istirahat jadi Acit menyuruh Galih dan Asta untuk makan kebawah, modus terselubungnya Acit sebetulnya. Karena Acit tahu Asta dan Galih perlu waktu untuk bicara berdua.

Jadi, disinilah mereka berdua. Seperti dejavu, Galih dan Asta duduk dalam diam. Persis seperti Galih dan Thya tadi siang. Bosan dengan diam yang begini-begini saja, Galih akhirnya membuka mulutnya.

"Tante Wid gimana, Ya?"

"Tadi udah di MRI, tapi untungnya ga ada apa-apa, Mas. Mungkin Mama banyak pikiran sama kecapekan."

"Kamu jangan sampe sakit juga, Ya."

Asta mengangguk pelan.

"Ya, saya boleh tanya sesuatu?"

Asta sudah menebak akan kemana pembicaraan ini berlanjut. Mau tidak mau Asta harus meladeni pertanyaan Galih. Asta juga sadar kalau mungkin ini waktunya mereka bicara. Semakin lama Asta menghindar, Asta lelah juga menahan rindunya.

"Boleh, Mas."

Galih menarik napas dalam sebelum bicara. Matanya tidak sedetikpun terlepas dari Asta.

"Selain kuliah, kerjaan sama Tante Wid, seminggu ini apa lagi yang lagi kamu pikirin, Ya?" tanya Galih.

Asta berusaha menatap kearah lain. Ia tidak mungkin bisa menjawab kalau di tatap se-intens itu oleh Galih.

"Nggak ada, Mas."

Galih mengangguk pelan. Ia sudah menebak kalau tidak mudah mendapat jawaban dari seorang Asta.

"Seminggu ini, saya ngerasa kamu menghindar dari saya. Kamu mau kasih tau nggak salah saya apa, Ya?"

"Eh?"

Asta terkejut dengan pertanyaan blak-blakan dari Galih. Asta pikir Galih akan menyerah setelah Asta menjawab tadi. Ternyata tidak mudah juga menutup rasa penasaran Galih.

"Soalnya seinget saya, terakhir kita jalan itu kita baik-baik aja, Ya. Jadi kalo tiba-tiba kamu jaga jarak gini, saya jadi mikir saya ngelakuin apa waktu itu yang mungkin bikin kamu nggak nyaman."

Asta perang batin. Apa iya Asta harus menceritakan soal masa lalunya pada Galih? Memang saat ini hubungan mereka apa? Tapi kalau tidak dijelaskan, Asta juga tidak mau Galih jadi berpikir aneh-aneh lalu akhirnya mereka sama-sama membangun tembok dan sama-sama menjauh.

Asta menarik napas lalu menghembuskannya perlahan.

"Saya cuma.. Banyak ketakutan yang nggak bisa saya jelasin sekarang, Mas. Dan saya belum bisa melawan ketakutan saya. Mas Galih nggak salah kok, cuma mungkin saya yang terlalu.. Complicated?"

"Kalo gitu cerita, Ya. Atau kalau kamu nggak mau cerita, paling nggak jangan hindarin saya kayak seminggu ini. Saya bener-bener bingung kalo kamu begitu, Ya." akhirnya Galih mengungkapkan keresahannya dengan bahasa yang diperhalus. Karena kalau terlalu jujur, Galih merasa terlalu menye-menye nanti. Bisa-bisa Asta jadi ilfeel.

Asta menunduk. Merasa bersalah telah membuat Galih jadi begini.

"Maaf, Mas Galih."

"Nggak pa-pa, Ya. Cuma saya mikirnya kamu nggak nyaman karena omongan saya soal perasaan saya ke kamu waktu itu. Makanya kamu menghindar. Kalo emang-"

Asta menggeleng cepat menyanggah kata-kata yang belum selesai di ucapkan Galih.

"Bukan, Mas Galih. Bukan karena itu.."

Galih diam menunggu Asta melanjutkan kata-katanya. Tapi setelah beberapa detik tanpa suara dan tanpa tanda-tanda Asta akan bicara, akhirnya Galih mendesah lelah. "Ya udah, Ya. Saya nggak mau maksa kamu buat ngomong sesuatu yang ngeberatin kamu. Tapi saya boleh minta sesuatu sama kamu?"

Falling In Love At a Coffee ShopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang