Brayden Cole Wayne

98.4K 4.2K 62
                                    

Akhirnya bell berbunyi. Dengan segera aku melesat keluar kelas menghindari tatapan membakar Mr. Wayne dipunggungku. Aku selalu merasakan tatapannya selama pelajaran berlangsung. Aku menuju lokerku untuk mengambil buku sejarahku. Saat aku hendak membuka pintu

lokerku, tiba-tiba sebuah lengan besar

dan kokoh membalikkan pinggangku

dengan paksa dan membantingnya ke

pintu loker. Tidak sakit, namun dapat

menarik perhatian murid-murid disini.

"Ap-apa yang kau inginkan??"

Tanyaku gugup tidak berani menatap

wajahnya. Aku baru menyadari bahwa

tubuhnya sangat berotot. Lebih besar

dari ayahku. Mungkin 5x lebih besar

dari tubuh kecilku. Aku yakin kedua

tangan yang meremas pinggangku

bisa meremukkan tulangku hanya

dengan sekali remasan.

Dia menggeram, "Abby," namaku

terasa sangat cocok dan sempurna

dilidahnya. Caranya menyebut

namaku membuatku menggigil. Entah

mengapa aku merasa takut sekaligus

merasa aman. Matanya menggelap

penuh dengan emosi:; nafsu dan....

Cinta?? Bagaimana bisa??

Lamunanku buyar ketika dia mulai

mendekatkan wajahnya kearahku.

Rasa ingin menangis segera

mendatangiku. Satu bulir air mata

mengalir dari sudut mataku. Aku

memang sangat mendrama. Tiba-tiba

matanya tidak lagi gelap. Tetapi

bewarna abu-abu terang yang

didalamnya terdapat keterkejutan

melihat air mataku. Aku memeluk

tubuh besarnya dan menyandarkan

kepalaku didadanya. Membiarkan

semua air mataku keluar. Kini aku

merasa aman.

"Ssshh.. Jangan menangis kitten. Aku tidak akan menyakitimu." Dia mengangkat daguku dan menghapus air mataku.

dia membawaku ke pelukannya dan menenangkanku. Kurasakan pipiku memerah karena menangis dipelukan orang yang tidak kukenal. Tapi Mr. Wayne ini sungguh nyaman dipeluk. Hangat dan empuk. Lebih nyaman dari Henry. aku tidak akan bosan memeluknya dan menatap wajah tampannya setiap hari. Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya, bahkan kepada ayahku. Tapi entahlah, setiap sentuhan yang diberikannya bagaikan menghidupkan bunga api diperutku. Begitu pas, begitu sempurna. Seperti pecahan puzzle yang baru dipasangkan. Aku merasa ... Lengkap dan sempurna saat berada didekapnya.

"Siapa namamu Kitten?" Pertanyaannya membuyarkan lamunanku. Kitten? Pipiku bersemu merah, menyukai panggilan yang diberikan.

"Bukankah kau sudah tau namaku?"

"Tapi aku tidak tahu nama panjangmu."

"Abby Petterson."

Tatapanku menyusuri dada bidangnya. Aku tersenyum lebar dan menyandarkan kepalaku di dadanya. Membuat dia mengeluarkan sebuah geraman kecil ditenggorokannya.

My Possessive Werewolf MateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang