6. Threat

3.5K 501 52
                                    

"Kalau boleh tahu," Minji akhirnya berbicara ketika Taehyung sudah hampir selesai melahap sup buatannya, "siapa itu Park Jimin?" lanjutnya lagi.

Taehyung tersedak, sangat keras sehingga membuat Minji terkejut dan buru-buru memberikan segelas air putih. Taehyung melirik tidak tenang, apalagi melihat tatapan Minji yang mengunci.

"Kau kan tahu, dia teman lamaku," jawab Taehyung kaku. Minji sebenarnya tidak percaya, tapi dia berusaha mengangguk dan memahami. Sebanyak apapun Minji bertanya, hanya kalimat itu yang akan terucap dari labium Kim Taehyung—lagi dan lagi.

Minji mengedikkan bahunya, berusaha meyakini Taehyung bahwa dia tak peduli.

"Baiklah. Aku pulang dulu," kata Minji yang bergegas mengambil tas tangannya. Taehyung membuntuti dan tak bicara apa-apa. Namun dia menarik tangan Minji sebelum wanita itu benar-benar keluar dari pintu depan.

"Jangan mengabaikanku, aku mohon."

Minji tersenyum lalu melepas genggaman tangan Taehyung perlahan, pergi begitu saja dengan mata yang berkaca. Dia cukup terluka dengan Taehyung dan merasa harus baik-baik saja akan hal tersebut.

~

Hyunjin kali ini tidak merangkai bunga, juga tidak menonton drama. Dia hanya berguling resah di kasur besarnya sambil menunggu Jungkook pulang.

Dia melirik jam di nakas, sudah hampir jam satu malam. Khawatir? Tentu saja. Dulu saat dia belum hamil seperti sekarang ini, dia baik-baik saja jika Jungkook pulang malam atau bahkan pagi. Tapi disaat seperti ini, dia ingin sekali berada dalam dekapan Jungkook dengan tangan yang mengusap perut besarnya perlahan.

Sekitar jam setengah dua, Jungkook pulang dengan langkah gontai dan wajah lelah karena kurang tidur. Dia melepas jaketnya sambil memperhatikan wanitanya. 

"Belum tidur, Sayang?" Jungkook duduk di samping Hyunjin yang sedang membaca sebuah novel. Istrinya langsung melepas kacamata dan menatap Jungkook dengan mata berkaca.

"Loh, ada apa? Apa kau merasa sakit di sekitar tubuhmu?" tanya Jungkook cemas.

Hyunjin buru-buru menggeleng. "Tidak, aku hanya merindukanmu."

Jungkook sebenarnya terkejut, tapi dia tersenyum sambil membawa Hyunjin ke dalam pelukan. Seniornya Namjoon pernah berkata, kalau istrinya manja sekali dengannya saat hamil pertama kali dan lebih sensitif terhadap apapun. Awalnya, Jungkook tak mengerti. Namun, dia memahaminya sekarang.

"Ayah Jungkook sudah pulang, Bunda jangan menangis, ya?" Jungkook mengecup bibir Hyunjin singkat lalu tersenyum.

Hyunjin mengangguk pelan, tak mau berpisah dengan Jungkook walaupun suaminya itu baru pulang dan belum mandi. Jungkook membiarkan Hyunjin mendekap erat selama setengah jam ke depan—sampai istrinya terlelap di dalam pelukan.

Setelah bersih-bersih, Jungkook menuju dapur. Merasa harus minum susu untuk perutnya yang sedikit tak nyaman. Lalu netranya menatap sebuket bunga mawar putih yang belum disentuh lebih jauh. Jungkook mengernyit, mengamati dengan teliti sebuah kartu ucapan yang tertera kalimat manis atas nama dirinya.

"Siapa yang mengirim bunga?" Jungkook mengernyit dan bertanya sendiri. Hari ini dia sangat sibuk, tidak makan di luar kantor apalagi mampir ke toko bunga. Pikirannya campur aduk, merasa aneh karena itu jelas-jelas bukan kirimannya.

~

Jimin menyelesaikan rencana yang sudah dipikirnya matang-matang, walaupun pikirannya tak lepas dari Hyunjin. Pagi ini dia berencana untuk mengunjungi Hyunjin—lagi. Dia rindu, bisa dibilang Hyunjin adalah satu-satunya kerabat yang dia punya saat ini.

Ponselnya bergetar untuk yang kesekian kali, Kim Taehyung lagi. Rahang Jimin mengeras, berakhir mengumpat kata kasar untuk menyalurkan emosi terpendamnya. Jelas Jimin mengabaikan, biar bagaimana pun, dia tak suka jika pria itu menelpon terus menerus.

Setelah menyantap sarapan dan secangkir kopi, Jimin berangkat, meninggalkan ponsel. Matanya terus melirik jam tangannya, berharap dia sampai di rumah Hyunjin ketika Jungkook sudah berangkat kerja.

Satu jam kemudian, Jimin sudah berada di kawasan rumah Hyunjin. Masih ragu ingin memencet bel rumahnya atau pergi dari situ. Jimin sadar dia tak seharusnya sedekat ini dengan Hyunjin. Namun, egonya berkata lain. Memorinya belasan tahun yang lalu memaksa anggota tubuhnya untuk bertemu.

Pintu depan terbuka, memperlihatkan Jungkook dengan sepotong roti lapis di mulutnya dan Hyunjin yang memeluk pria itu –tak ingin berpisah. Jungkook masih berbicara dengan Hyunjin sebelum akhirnya wanita itu beralih menatap Jimin.

"Eh, Chim? Kau datang?" Raut wajah Hyunjin berubah semakin sumringah. Jungkook tak begitu memerhatikan karena ponselnya berdering, hanya membungkuk dan memberi salam secara singkat sebelum dia benar-benar berangkat kerja.

"Yah, aku sedang berada di sekitar sini. Jadi, aku memutuskan untuk mampir." Satu kalimat dusta terlontar lagi.

"Ah, sayang sekali ya. Aku ingin mengenalkan Jungkook, tapi sepertinya dia buru-buru karena telat. Ayo masuk!"

Sebelum Hyunjin melangkah masuk, Jimin menahan pergelangan tangannya.

"Bisa berjalan-jalan di sekitar taman?" Jimin berupaya untuk tersenyum, menampilkan eyesmile yang menggemaskan bagi Hyunjin.

Dia mengangguk cepat. "Tentu saja. Aku kunci pintu dulu."

Setelahnya, mereka pergi ke taman dekat rumah Hyunjin. Jimin sedikit bersyukur, karena menurutnya jalan-jalan pelan di udara pagi hari sangat bagus untuk kesehatan. Apalagi saat ini tidak hujan seperti kemarin.

"Kau hamil berapa bulan?" tanya Jimin begitu keduanya sudah jalan berdampingan. Hyunjin melempar senyum sambil mengelus perutnya. 

"Tujuh bulan dua minggu. Aku sudah tidak sabar untuk melihat buah hatiku, Jungkook juga bilang begitu."

Hati Jimin retak, dia terlalu rapuh untuk mendengar hal-hal bahagia tentang Hyunjin dan Jungkook. Dia sangat menyayangi Hyunjin, seperti dia menyayangi adiknya Jihyun yang telah tiada. Namun, dia harus membunuh Jungkook. Pergulatan batinya dimulai lagi, baru kali ini Jimin menyampurkan urusan perasaan ke pekerjaan kotornya.

"Wah, sedikit lagi aku akan menjadi Paman." Jimin mengajak Hyunjin untuk duduk di salah satu ayunan yang dinaungi oleh pohon Gingko yang berubah warna daunnnya menjadi kuning dan merah.

"Kau benar, pokoknya kau harus menjengukku nanti," kata Hyunjin, "Oh iya, tiga hari lagi aku ulang tahun. Kau harus datang ya! Aku, Jungkook dan Seokjin oppa ingin makan malam bersama," lanjutnya lagi. 

Sebenarnya Jimin tak tahu harus berkata apa saat ini, tapi tubuhnya merespon dengan anggukan lemah, pertanda dia menyetujui ajakan Hyunjin.

"Bagus sekali! Oh ya Chim, kau tinggal di mana? Kau tak sempat menceritakan tentang dirimu pada saat pertama kita bertemu lagi."

Jimin meneguk salivanya sendiri, tak menduga pertanyaan singkat yang membuat keringat dinginnya mulai bermunculan. Ini sebenarnya pertanyaan ringan dan biasa ditanyakan kepada orang yang baru berjumpa lagi. Namun, Jimin tak yakin harus menjawabnya bagaimana. Dia tak mungkin mengungkap identitasnya sebagai pembunuh bayaran.

"Itu.. A-aku sebenarnya—" kalimat Jimin terhenti begitu saja ketika dia melihat figur lain sudah berdiri tak jauh darinya dengan setelan jas rapi. Tak jauh darinya, ada seorang lagi yang memakai setelan sama, dengan wajah lebih keras dan tubuh yang lebih besar.

Hyunjin mau tak mau mengikuti arah pandang Jimin, memindai pria yang jalan semakin dekat dengannya. Pria itu melewatinya dengan sedikit senyum sebelum perhatiannya fokus menatap Jimin.

"Apa kabar, Park Jimin? Kau tidak lupa dengan janjimu, kan?"

Raut wajah Jimin datar, dengan emosi dan rasa geram yang bercampur.

"Tentu saja, Tuan Kim. Aku bukan pria yang suka melanggar janji."

Taehyung menyeringai, sementara Hyunjin hanya menatap bergantian dua pria tersebut.

~

To Be Continued

KISS THE PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang