11. Begin (1)

2.4K 367 33
                                    

Hyunjin menghela napas sambil berusaha tersenyum. Memutuskan untuk mengganti lilin di meja makan karena sudah melebur untuk yang ke tiga kalinya. Dia tidak ingin, tapi netranya spontan melirik jam dinding di ruang makan.

Sudah hampir tengah malam.

Beberapa menit lagi akan berganti hari, itu tandanya tak ada makan malam romantis dan harmonis seperti yang dijanjikan oleh Jungkook ataupun Seokjin. Dia sedikit sedih, tapi rasa khawatirnya lebih besar. Jungkook ataupun Seokjin tidak ada kabar sejak pukul enam petang tadi.

Suara lonceng yang berasal dari jam dinding berbunyi nyaring—menandakan pergantian hari—bertepatan dengan Seokjin yang menerobos masuk ke rumahnya. Wajahnya pucat dan basah, membuat beberapa helai rambut menempel di wajahnya. Jas dokternya juga masih dikenakan karena dia lupa untuk melepasnya walaupun dipenuhi bercak darah. Kepanikan menguasai hampir seluruh pikirannya, sisanya dia gunakan untuk mencari cara menyampaikan fakta yang telah disaksikan dengan kedua bola matanya sendiri. 

"Oppa, apa yang terjadi?" Hyunjin sudah merasakan gejolak tak enak di perut dan dadanya. Perpaduan yang bisa menciptakan aliran deras di permukaan wajah kapan saja. 

Seokjin tak bisa bicara sejak tadi—sejak dia ingin keluar dari emergency room pukul delapan. Suaranya habis untuk memerintah suster yang menurutnya bergerak lambat, padahal tidak sama sekali. Kekhawatiran  membuat otaknya berpikiran begitu, bahkan kepada lampu merah yang menghambat perjalanannya menuju rumah Hyunjin.

"J-jungkook... " Seokjin tak bisa menjelaskan lebih lanjut.

"Ada apa dengannya, Oppa? Bisa bicara langsung kepada intinya?" tanya Hyunjin tak sabar. Raut wajahnya sudah siap menangis, dan Seokjin bisa merasakan ujung jari adiknya yang dingin ketika menggenggam tangannya. 

"Jeon Jungkook, dia kecelakaan dan saat ini sedang koma." Seokjin akhirnya mengeluarkan kalimat utuh itu, kalimat yang sudah tersusun rapi di kepalanya sejak dia menerima Jungkook sebagai pasiennya. 

"Bercandamu keterlaluan! Aku tahu ini adalah ulang tahunku. Kau tetap saja tak bisa menipu begitu saja." Kim Hyunjin masih memamerkan senyumnya, tapi perlahan pudar ketika netranya menangkap bulir air mata di wajah Seokjin. Yang lebih tua memeluk dan berusaha tak terisak, menciptakan bunyi yang membuat kaki Hyunjin lemas seperti gumpalan gelatin.

"K-kau serius? Tidak! Jeon Jungkook berjanji akan makan malam denganku nanti, dia menyuruhku untuk memperlihatkan hasil karangan bunga hari ini!" Hyunjin menjadi tak terkendali.

"kau bohong kan, Oppa?" Suara Hyunjin bergetar, berusaha menarik tubuhnya dari pelukan Seokjin tapi tertahan. Kakaknya menangis sambil mengelus surai ikalnya perlahan.

Diamnya Seokjin membuat Hyunjin langsung histeris. Perasaan tidak enak yang berkali-kali ditampiknya berubah menjadi kenyataan pahit. Air matanya berderai tanpa permisi, memaksa pita suaranya untuk mengeluarkan jerit yang lara. Dia tidak siap jika harus kehilangan Jungkook dengan keadaannya yang sedang hamil besar, membayangkannya saja Hyunjin tak mau.

Seokjin merengkuh tubuh Hyunjin yang terduduk pasrah, semakin kuat. Mengecup puncak kepala menenangkan lalu dia langsung buru-buru menyuruh Hyunjin untuk masuk ke mobilnya. Seokjin tak bisa meninggalkan pasiennya lebih lama lagi. 

~

Kobaran api di depan Jimin membuat pria itu termenung agak lama. Motor, masker, helm, apapun bukti kejahatannya hari ini sedang dimusnahkan di sebuah gedung tua yang jauh berada di tengah hutan. 

Dalam hidupnya, Jimin tidak pernah memikirkan betapa brengsek hidupnya saat ini. Dia tidak pernah berpikir bahwa dia manusia keji yang sudah merenggut banyak nyawa tak berdosa. Walaupun semua itu tidak secara langsung, tapi dia merasa dirinya sangat kotor dan egois. Dia rela merenggut nyawa seseorang untuk mendapatkan kebebasan yang entah kapan akan didapatinya.

Jimin beranjak ingin meninggalkan tempat itu ketika api perlahan padam. Namun, gerakannya terhenti begitu melihat Kim Taehyung yang datang bersama beberapa bodyguard-nya.

Jimin menggertakkan rahangnya dengan sangat keras. Betapa dia ingin melenyapkan pria yang sedang berjalan angkuh di depannya. Dia tidak heran bagaimana Taehyung bisa menemukannya, bagi Jimin, itu hal yang biasa.

"Kelihatannya kau sudah membunuh Jeon Jungkook." Kim Taehyung menyeringai sambil melihat abu hitam dan rangka motor yang masih terlihat, walaupun beberapa bagiannya rusak parah. Suara beratnya sangat mengintimidasi, berjalan memutar melihat bekas abu yang masih terasa panas. 

"Ya, itu yang kau inginkan. Aku sudah melaksanakannya, apa kau sudah puas?"

Kim Taehyung berhenti, menoleh untuk tersenyum licik sambil menggelengkan kepalanya.

"Kau belum memberikan bukti kepadaku, apa kau pikir aku bodoh, Jimin-ah?"

Ah, itu dia. Jimin tak sempat mengambil bukti apapun, karena dia sangat menghindari kejaran polisi yang mungkin saja mengira ini sebuah tabrak lari. Jimin tidak mungkin bilang bahwa dia tidak sempat mengambilnya, dengan percaya diri dia balik menyeringai menatap Taehyung. 

"Kau meragukanku? Ah~ sebentar lagi tengah malam. Kau bisa melihatnya di berita."

Kim Taehyung terdiam. Menuruti Jimin untuk melihat berita tengah malam di salah satu stasiun televisi nasional melalui ponsel pintarnya. Memang ada kecelakaan yang sekaligus mengakibatkan papan iklan terjatuh dengan satu orang korban, tapi masih belum diketahui status kehidupannya.

"Tetap saja, Park Jimin, aku butuh foto real darimu. Kau pikir aku bisa memercayaimu begitu saja? "

"Kalau begitu, silakan menunggu. Aku tidak menyimpannya sekarang. Kau bisa membunuhku karena tidak memenuhi keinginan kotormu itu, aku tidak peduli. Keputusan ada di tanganmu."

Emosi Taehyung memuncak. Dia memang percaya Jimin dan kinerjanya sebagai pembunuh bayarannya selama ini—selalu berhasil tanpa terlacak. Namun dia tak bisa menyangkal tatapan sendu Jimin dan gurat cemas yang menandakan bahwa dia memikirkan Hyunjin. Pergulatan antara hati dan logika membuat kepala Taehyung sedikit pusing. Pada akhirnya dia memilih untuk menunggu, lalu pergi dari gudang tua itu dengan langkah besar-besar.

Sementara Jimin, dia terpekur sangat lama. Baru kali ini dia berdoa dengan sungguh-sungguh. Dia tak pernah meminta lebih, hanya satu, agar setidaknya satu nyawa bisa terselamatkan. Kemungkinan yang tak bisa diterima akal sehat bagi siapapun yang melihat kecelakaan tadi, tapi menjadi masuk akal jika melibatkan Tuhan.

Setelah itu, Jimin beranjak keluar hutan. Otaknya kembali menyusun rencana dengan detail dan teliti, dia bahkan terkejut dengan aktifitas tak terduga disaat hatinya sakit dan perih karena merasa berdosa.

"Kim Hyunjin, kau berhak bahagia –ah tidak. Kau pantas dan harus bahagia," ucap Jimin dalam hati.

TBC

KISS THE PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang