25. Last deal

1.7K 308 8
                                    


"Nona Minji tidak ditemukan di mana pun. Jaringan teleponnya aktif sehari yang lalu di apartmen Tuan, setelah itu tidak terlacak," ucap salah satu bodyguard Taehyung.

"Brengsek!" Taehyung mengumpat dan membanting gelas yang berada di dekatnya untuk melampiaskan amarah. Setelah menyuruh bodyguard-nya keluar, Taehyung terhenyak di kursi kerjanya. Dia benar-benar kalut saat ini. Taehyung bahkan harus mengakui Jimin sangat kejam ketika membunuh. Bahkan dia bisa menyeringai begitu selesai melihat darah berceceran di depan matanya.

Taehyung menelpon orang suruhannya lagi. Menyuruh siapkan satu mobil untuk dipakai dan dimusnahkan keberadaannya hari itu juga. Dia geram sehingga rasanya dia ingin membuktikan pada Jimin, bahwa sesungguhnya dia tidak lemah terhadap ancaman Jimin.

"Akan kubuktikan kekejamanku padamu, Park –brengsek–Jimin!"

~

"Hyunjin, tolong ambilkan popok baru untuk Junyeong. Kau belum menaruhnya di lemari," teriak Seokjin dari kamar depan.

Hyunjin yang sedang memasak akhirnya mematikan kompor, lalu menuju meja ruang tengah dimana popok Junyeong sudah bertumpuk dan di lipat rapi. Hyunjin langsung mengambil semuanya dan menaruhnya di lemari Junyeong.

Seokjin sedang bercanda dengan Junyeong ketika Hyunjin masuk menyerahkan satu popok.

"Apa sebaiknya dipakaikan pampers saja? Kan lebih praktis."

"Tidak, tidak. Terlalu banyak memakai pampers bisa membuat kulitnya iritasi. Kita bisa memakainya kalau bepergian. Kalau di rumah seperti ini, tidak usah. Benar kan, Junyeong?"

Junyeong tersenyum dan bergerak agresif mendengar suara Seokjin, yang lantas membuat Hyunjin ikut tertawa dan mengecupnya dengan gemas.

"Baiklah. Bilang terima kasih kepada Paman Seokjin."

Junyeong tak bisa bicara, tapi dia bergerak lincah dalam pelukan Seokjin yang membawanya ke bar dekat dapur. Hyunjin kembali menyalakan kompornya dan menyelesaikan kegiatan masak yang tertunda.

"Oppa, apa kau tidak ingin mencari istri?"

"Bicara apa kau ini?"

Hyunjin mulai menyusun side dishes ke meja makan sementara menunggu jjigae mendidih.

"Aku bicara serius. Kau sudah cocok menjadi seorang Ayah."

Seokjin menghela napas. "Aku belum memikirkan hal-hal seperti itu. Jika semuanya sudah selesai, mungkin aku akan mencari istri."

Hyunjin menghentikan pergerakaannya, diiringi dengan kerutan di dahi.

"Apanya yang sudah selesai? Kau sedang melakukan sesuatu di belakangku, ya?" tanya Hyunjin curiga. Belakangan ini dia merasa Seokjin menyembunyikan sesuatu, apalagi setelah tahu kalau dia pernah diam-diam bertemu dengan Park Jimin.

Seokjin menggeleng cepat. "T-tidak. Maksudku, kalau urusanku di rumah sakit sudah selesai. Kau tahu kan, aku harus mengisi materi seminar di beberapa tempat."

"Ah masalah itu." Hyunjin akhirnya mengangguk. Diam-diam Seokjin lega dengan otaknya yang berpikir cepat untuk memberikan alasan yang masuk akal. Hampir saja dia kelepasan bicara.

"Nah, sudah selesai," kata Hyunjin setelah menaruh kimchi jiggae di meja makan. Dia juga menyiapkan air putih untuk Seokjin dan dirinya.

"Oppa, kau makan siang dulu. Junyeong sudah tidur, kau bisa menaruhnya di box bayi."

Seokjin menyerahkan Junyeong yang pulas dengan cepat. Sepertinya pelukan paman Seokjin begitu nyaman sehingga Junyeong mudah tidur seperti itu.

"Oppa, setelah ini aku akan pergi dengan Sooyoung lagi. Tidak apa-apa, kan?"

Seokjin menatap Hyunjin dan mengangguk. "Tentu saja tidak apa-apa. Aku senang kau bisa berteman dengannya."

"Tapi aku tidak membawa Junyeong. Hanya pergi sebentar menuju toko make up."

Seokjin berpikir sebentar. Hari ini dia tidak ada jadwal praktek di rumah sakit, mengisi seminar pun baru lusa. "Tidak masalah. Aku bisa menjaga keponakan tampanku lebih baik darimu."

"Ishh kau ini, tetap saja kau tidak bisa menyusuinya. Jadi, akulah yang terbaik."

Seokjin meresponnya dengan tawa yang diusahakan tidak menggelegar, khawatir Junyeong akan terkejut dan menangis. Biarpun sudah menjadi seorang ibu, sikap Hyunjin masih saja seperti anak kecil.

Satu jam setelah makan siang, Hyunjin sudah siap-siap untuk pergi bersama Sooyoung. Ketika gadis itu datang, Seokjin sempat berbincang sedikit. Hyunjin mau tak mau memerhatikan. Dia jadi geli sendiri. Karena rencananya pergi dengan Sooyoung hari ini, dia jadi tahu satu hal.

Bahwa Seokjin tertarik dengan gadis bermarga Park tersebut.

~

Minji duduk dengan gelisah, berharap Jimin akan datang beberapa saat lagi. Dia sesekali memandangi langit yang tak pernah absen dilewati oleh burung besi dengan cemas. Tampaknya, Jimin akan pulang dalam keadaan tak baik-baik saja, pikir Minji.

Dua puluh menit berselang, suara pintu depan berderit, diikuti suara sepatu yang terseret. Minji menggeser tubuhnya untuk sembunyi di balik sofa besar, takut-takut itu adalah orang suruhan Taehyung. Namun setelah Minji melihat dengan mata kepala sendiri bahwa orang itu adalah Jimin, barulah dia keluar dari tempat persembunyian.

"Astaga, Jimin!" Serentak dengan suara Minji, saat itu juga Jimin terjatuh dengan napas yang tersengal. Wajahnya berlumuran darah kering. Bajunya sobek di beberapa tempat, dan banyak bekas injakan sepatu di kaos lengan panjangnya yang berwarna hitam.

Minji langsung menduduki Jimin di sofa, lalu membawakan sebaskom air hangat dan handuk serta beberapa obat untuk membersihkan luka.

"K-kau tidak apa-apa kan,?" Jimin berusaha membuka matanya dan memindai tubuh Minji yang tak berubah sedikitpun. Minji diam saja, dia ingin sekali menangis. Sejujurnya perutnya mulas, ini pertama kalinya dia melihat orang terluka semengenaskan ini.

"Brengsek!" gumam Minji di sela-sela kegiatannya membersihkan darah di wajah Jimin. Air matanya tidak tertahan lagi, dia tidak bisa baik-baik saja disaat semua luka yang dia berusaha sembuhkan adalah hasil perbuatan Kim Taehyung.

"Jangan... tolong jangan menangis," ucap Jimin yang tersengal. Dia membawa jemarinya untuk menyentuh helaian rambut yang menempel di wajah Minji.

Gadis itu terperangah, ada sebuah getaran halus yang merasuki relung hatinya. Kedua mata persegi dan sendu itu tampak menerobos manik matanya dan terlihat benar-benar memohon. Minji menghela air matanya dan lanjut membersihkan luka di sudut bibir Jimin.

"Aku tidak akan menyetujui rencana apapun lagi setelah ini. Kuharap ini yang terakhir," kata Minji sambil menekan ringan luka Jimin. Pria itu hanya meringis sambil menatap Minji.

"Aku tidak yakin akan hal itu."

~

TBC



KISS THE PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang