28. Ever enough

2.4K 333 3
                                    

Kim Taehyung tergesa membelah ruangan yang terasa sepi. Dia sempat melihat pemandangan di dinding rumah orangtua nya. Ada foto wisuda, mulai dari taman kanak-kanak sampai dia selesai magister. Taehyung sangat ingat, hanya saat wisuda taman kanak-kanak dan magister lah kedua orangtua nya datang.

Taehyung berbelok, menuju sebuah ruangan yang berada di ujung lorong lantai dua. Pintu kayu ek itu terbuka sedikit, dan beberapa asisten rumah tangga berdiri di depannya.

"Tuan Muda. Syukurlah Tuan Muda datang, Nyonya Kim belum sadar sejak kemarin," ucap salah satu Asisten rumah tangga yang biasa dipanggil Bibi Lee oleh Taehyung.

Taehyung menerobos masuk. Hanya ada tubuh lemah ibunya yang terbaring di tengah ranjang dan Ayahnya yang tertidur di tepian ranjang. Langkahnya terhenti tepat disamping etalase kaca yang berisi koleksi berlian yang berasal dari berbagai manca negara. Taehyung ragu untuk melangkah, seakan ada dinding pembatas yang memisahkan mereka.

Tuan Kim tersentak kaget karena posisi tidurnya sendiri, setelah itu dia baru sadar ada Taehyung berdiri terpaku di situ.

"Kemarilah, kenapa kau berdiri di situ?" Tuan Kim menyuruhnya untuk mendekat, dan dengan enggan Taehyung menurutinya.

Ketika sudah lebih dekat, Taehyung bisa merasakan keram yang amat sangat dan degupan jantung yang menggila. Melihat ibunya tak berdaya seperti ini membuatnya lemah. Sebenci apapun dia dengan wanita yang dipanggil Nyonya Kim ini, tetap dia mempunyai rasa sayang yang tersembunyi jauh di lubuk hatinya.

"Bagaimana kabarmu?" Suara Tuan Kim menyadarkan lamunan Taehyung. Dia menunduk, menghindari kontak mata dengan sang Ayah.

"Baik, Pihak Jepang telah setuju untuk membuka cabang KM Corp dan—"

"Ayah tidak menanyakan hal itu," potongnya yang membuat Taehyung melirik. "Ayah tanya bagaimana kabarmu, bukan kabar perusahaan," lanjut Ayahnya lagi.

"A-aku? Aku baik-baik saja. Ma-maksudku, yah sedikit sakit perut."

"Kau belum makan?"

Taehyung menggeleng.

"Baiklah, aku akan menyuruh Bibi Lee untuk menyiapkan makanan. Kita akan makan siang bersama."

Taehyung belum sempat membalas ketika Ayahnya sudah terlebih dulu keluar dari kamar. Menyisakan Taehyung dan ibunya yang masih belum sadarkan diri.

Meski enggan dan terasa aneh, Taehyung mendekat dan meraih jemari ibunya. Sudah terlampau lama jemarinya tak menyentuh sang Ibu. Ada rasa haru yang membuat air mata Taehyung menetes mengenai jemari tersebut. Dia menangis tersedu-sedu setelahnya. Tak peduli suara ribut di depan pintu yang penasaran apa yang terjadi di dalam sana.

"Ibu, maafkan aku." Taehyung memulai, menatap wajah yang terpejam datar itu dengan sungguh-sungguh. Kalau boleh jujur, hatinya sudah berubah menjadi serpihan kecil dan terlampau sakit.

"Aku tahu, perbuatanku membuatmu terkejut seperti ini. Aku kesepian, asal kau tahu. Dan aku tidak punya siapa-siapa kecuali kalian. Nenek dan Kakek selalu ada untukku, tapi jarak membuat hal tersebut menjadi tak mungkin. Aku hanya anak kecil yang butuh kasih sayang. Kau tidak lupa kan kalau pernah punya anak bernama Kim Taehyung?"

Hening kembali, ibunya tidak merespon sama sekali.

"Aku tahu, Ibu pasti marah denganku karena suka bicara dengan nada tinggi. Atau karena aku tidak memenuhi permintaanmu untuk makan siang bersama. Maafkan aku. Aku menyesal melakukan itu. Sekarang kumohon bangun, Bu. Aku janji, jika Ibu bangun kita akan berlibur bersama Ayah juga."

Taehyung benar-benar terdengar menyedihkan, menangis sambil menggenggam tangan ibunya. Ayahnya yang sejak tadi berada di depan pintu juga menangis. Sebagai orangtua, dia merasa tidak menjalankan perannya dengan baik kepada anak satu-satunya.

Taehyung masih menangis sampai-sampai dia lelah dan tertidur di tepian ranjang. Tak lama setelahnya, kedua mata sang Ibu terbuka untuk beberapa saat dan membalas genggaman tangan Taehyung.

"Maafkan Ibu, Taetae ku," gumamnya lemah.

~

Luka di wajah maupun tubuh Jimin semakin membaik. Dia masih berada di tempat persembunyian di Incheon. Walaupun tempat ini agak berisik karena burung besi yang lewat menghiasi langit biru, Jimin yakin tempat ini adalah yang paling aman untuk saat ini.

"Sarapan Jim?" Minji sudah menaruh mangkuk jjigae di meja kayu serbaguna. Jimin menoleh kemudian menuju meja itu.

"Kau sarapan dengan jjigae?" tanya Jimin. Minji mengangguk. "Untuk menghangatkan perutmu. Kau tidak mau makan sejak kemarin. Tadinya aku mau membuatkan sereal saja, tapi aku rasa itu tidak benar."

Jimin hanya mendengus pelan kemudian mulai menyendokkan nasi dan jjigae yang sudah diambilkan oleh Minji. Jimin tidak tahu kapan gadis itu berbelanja semua bahan-bahan untuk makan. Yang jelas, ini makanan terlengkapnya setelah sekian lama hanya memakan kimbab atau onigiri yang ada di mini market.

"Bagaimana Taehyung? Apa ada kabar?"

Minji menggeleng. "Sejak dia pergi ke rumah orangtuanya dua hari yang lalu, ponselnya tidak aktif. Padahal aku sudah memasang locator di ponselnya. Tapi tak berguna kalau ponselnya mati kan?"

Jimin mengangguk sebagai respon. "Setelah ini kita pergi menjenguk Hyunjin. Kita akan ke rumahnya karena kudengar dari Seokjin hyung, dia sudah keluar dari rumah sakit."

"Baiklah. Kita ke toko bunga dulu, aku mau membeli mawar putih untuk Hyunjin."

Jimin mengangguk. "Tentu saja. Setelah ini, kau bersiap-siap. Aku juga, oke?"

Minji menjawabnya dengan sebuah anggukan.

Satu setengah jam setelahnya, Jimin dan Minji sudah berada di kediaman Hyunjin. Seokjin sedang memberikan susu kepada Junyeong yang tiap hari semakin menggemaskan. Sementara Hyunjin, dia hanya duduk di ruang tengah dihadapan Jimin dengan wajah tertekuk dan datarnya.

"Untuk apa kau ke sini?" Hyunjin berkata dengan ketus, dia masih kesal dengan perilaku Jimin yang menyembunyikan keberadaan Jungkook. Jimin jadi salah tingkah sendiri karena tak biasanya Hyunjin jutek seperti ini.

"Untuk menjengukmu. Kau kan habis kecelakaan. Apa aku salah?" Jimin malah balik bertanya. Hyunjin hanya mendengus kemudian menatap Jimin dengan kesal.

"Ya, kau sangat salah karena menyembunyikan keadaan suamiku selama ini," kata Hyunjin dengan mata berkaca. Senyum di wajah Jimin otomatis menghilang, digantikan dengan raut khawatir dan labium yang masih bungkam tidak membenarkan.

"Kenapa kau diam?" Hyunjin bertanya dengan keki. "Kau diam karena aku benar, kan?" Hyunjin sudah menangis sekarang. Rasa rindu dan emosinya bercampur aduk, sehingga rasanya dia bisa menangis atau memaki kapan saja.

Jimin menghela napas, tak ada gunanya mengelak ketika fakta sudah diketahui oleh Hyunjin. Dengan helaan napas dia duduk di harapan Hyunjin dan bicara, "Aku akan menjelaskan semuanya."

~
TBC

KISS THE PAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang