O2. Perkenalan.

2.5K 226 1
                                    

"Haaaah," Helaan nafasku menciptakan embun diatas kaca arlojiku. "Sudah jam 11 malam, dia tidak mungkin kesini di jam sekarang. Bagaimana pun juga dia seorang gadis, Jeon Jungkook.

Akhirnya, setelah perdebatan hebat antara hati nurani dan egoku, aku pun lagi lagi pulang ke rumah tanpa hasil. Gadis itu benar-benar tidak kembali lagi. Kenapa, semakin hari aku semakin penasaran dengan sosoknya?

"Ah, dia.." Refleks jemariku menunjuk pada sosok gadis yang mirip dengan gadis yang terluka itu. Sebuah perban di tangan kirinya membuatku semakin yakin bahwa itu adalah Eunbi, jika aku tidak lupa akan namanya.

Dia sedang berada disebuah cafe, membersihkan meja dengan cekatan dan terlihat ia tersenyum saat temannya menepuk pundaknya dan izin untuk pulang terlebih dahulu. Ternyata, senyumnya begitu menyejukkan hatiku, sehingga aku bisa-bisanya melupakan keadaanku yang baru saja kehilangan.

Lama aku berdiri didepan cafe ini, hanya untuk memperhatikan gadis itu dan meyakinkan pada diriku bahwa gadis itu baik-baik saja selama ini. Dengan perasaan khawatir ini, apakah aku sudah kembali bersikap berlebihan?

"Berhentilah mengkhawatirkan orang yang tidak kau kenal, Jeon Jungkook." Ucapku, menasehati diriku sendiri.

Sejauh ini aku hanya berdiri melamun sampai tak aku sadari kini sosok Eunbi tengah berjalan mendekat kearahku.

"Maaf tuan, cafe ini sudah tu.."

"Hai?" Aku menyapanya, saat kalimat gadis itu terputus saat menyadari sosok yang ia ajak bicara adalah aku. Dan anehnya, dengan cepat ia menunduk. "Hei, kenapa?" Tanyaku keheranan.

Gadis itu menggeleng. "Maaf aku belum bisa mengganti kaosmu yang rusak.." Ucapnya polos, membuatku sedikit terkekeh. "M..masuklah, untuk sementara aku akan mengganti jasamu malam itu dengan segelas cokelat panas dan cake." Lanjutnya dan mempersilahkanku untuk masuk. Tanpa berfikir panjang, akupun mengikutinya seolah melupakan bahwa ia baru saja berkata padaku bahwa cafe ini telah tutup.

Sepuluh menit berselang, akhirnya makanan dan minuman yang ia janjikan akhirnya datang bersamanya. Bau aroma cokelat dan parfait beterbangan dan beradu menjadi satu dalam indra penciumanku, seolah terpancing, perutku dengan polosnya berbunyi keras membuat gadis itu hanya diam bingung harus bersikap bagaimana.

"Ahahaha." Tawaku kaku. "Aroma itu membuat perutku mengaum. Maafkan aku." Ku garuk kepalaku yang sama sekali tidak terasa gatal itu. Dan kulihat gadis itu tersenyum dan perlahan ia tertawa kecil menertawakanku.

"Tidak apa-apa, bukankah suara perut itu adalah alami? Kita tidak bisa mengaturnya, jadi, itu bukanlah sebuah kesalahan besar." Ia duduk tepat di depanku. Namun, sesaat setelah kalimat itu ia lontarkan, seolah dihujani oleh semen, badannya mematung dan tak bergerak sama sekali. Membuat kami pada akhirnya kembali terjebak dalam keheningan.

"Ekhem," Dehemku, membuatnya akhirnya bergerak. "Boleh aku makan?" Tanyaku. Ia mengangguk dan mempersilahkan aku untuk menyantap hidangannya.

"Ngomong-ngomong, namaku Jeon Jungkook. Jika kau tidak keberatan untuk mengetahui namaku." Gadis itu tersenyum, mengisyaratkan bahwa ia sama sekali tidak keberatan.

"M..maaf atas kejadian malam kala itu, kau harus melihatku semenyedihkan itu. Hehe." Suaranya terdengar parau, seolah ragu untuk mengatakannya padaku. "Dan membuatmu khawatir." Kalimat terakhirnya membuatku tersedak, dan hampir saja aku meludahi Eunbi dengan cokelat yang ada di mulutku.

"Ah, i..ini," Dengan gugup Eunbi memberikanku selembar tisu. "Ma..maaf, maaf aku terlalu yakin, mana mungkin kau mengkhawatirkanku." Gerak tubuhnya semakin kacau, ia begitu terlihat malu dengan kalimatnya. Begitupun denganku, aku seolah tertangkap basah telah mengkhawatirkannya selama ini. Padahal, sudah tahu gadis itu hanya asal bicara saja.

"Aku akan mengantarmu pulang." Ucapku, membuat kami berdua terhenyak karena terkejut. Aku terkejut atas apa yang baru saja ucapkan pada Eunbi. Dan Eunbi, entah aku tidak tahu dia terkejut karena apa. Mungkin, dia juga sama terkejutnya seperti aku saat mendengar ucapanku yang baru saja aku ucapkan beberapa detik yang lalu?

"Tidak usah!" Jawabnya lantang, dengan kedua tangan yang ia silangkan. "Aku bisa pulang sendiri, aku sudah biasa." Lanjutnya.

"Tapi, ini sudah tengah malam dan kau adalah perempuan." Dia diam. "Kau ada hutang sebuah kaos padaku, dengan mengantarmu pulang aku akan menganggap hutangmu lunas. Bagaimana?" Keegoisanku mulai menjadi, tanpa memikirkan tentang privasinya, aku terus saja memaksanya agar aku tetap bisa mengantarnya pulang. Entahlah, kekhawatiran ini semakin kuat.

Kulihat ia menghela nafas panjang. "Baiklah hanya malam ini saja, ya?" Dan cepat aku mengangguk. "Tetapi, setelah ini kau mungkin akan membenciku. Bersiaplah." Lanjutnya, kemudia pergi ke dapur cafe untuk mengambil barangnya, dan aku? Hanya mengangkat kedua bahuku, mengisyaratkan pada semesta bahwa aku akan terus berpura-pura tidak mengerti dengannya.

Selama perjalanan pulang, kami hanya diam. Semilir angin bahkan terdengar lebih bising dari suara nafas kami. Suara serangga malam terdengar lebih lantang dari suara derap langkah kami dan suara desiran rerumputan jauh lebih berisik dari suara gesekan kaca dalam tas Eunbi. Ya, gadis itu kulihat telah memasukan tiga buah botol kaca kedalam tasnya.

"Ngomong-ngomong, berapa umurmu? Maaf menanyakan hal ini, tapi kau terlihat seumuran denganku, tetapi sudah bisa bekerja?" Tanyaku.

"Aku? Jangan terkejut, aku masih 14 tahun." Jawabnya enteng.

"A- apa? Dan kau diterima bekerja? Bagaimana bisa?" Tanyaku lagi, aku begitu terkejut.

"Pemilik cafe itu adalah orang tua temanku, dia tahu mengenai keadaanku jadi ya, begini lah akhirnya. Bahkan dia ikut merahasiakan umurku yang sebenarnya pada semua karyawannya, beruntunglah masih ada malaikat disekitarku."

Aku tersenyum, mengiyakan ucapannya.

"Nah. Ini rumahku,"

I Miss YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang