1. Aku dan Masa Laluku (Joana)

1K 47 8
                                    

Seorang gadis berdiri dengan tangan kanan memegang pistol yang mengarah ke laki-laki paruh baya bertubuh kurus.

"Papa sayang Jo," ucap laki-laki itu sedetik sebelum gadis 15 tahun itu menembakan pistolnya. Kedada kiri tepat di jantung, membuat laki-laki itu langsung terkapar dengan darah yang mengalir dari dada kirinya. Dua orang yang menyaksikan kejadian itu menjerit, kemudian menghambur kearah laki-laki.

-----

"Aaarrrhhh!" Aku terbangun dengan napas memburu. Mimpi itu lagi. Tepat pukul 3 dini hari, aku membuka mataku di sebuah ruangan berukuran 4x3 meter. Cukup luas untuk sebuah ruang tahanan.

Aku berhenti mengusap wajahku yang berkeringat dingin, saat melihat laki-laki yang terus memerhatikanku dalam gelap.

"Apa yang dilakukan pak polisi didalam ruang tahanan?" tanyaku setelah mengatur suaraku agar terdengar tenang dan dingin.

"Apa yang kau mimpikan sehingga membuatmu selalu menjerit dini hari seperti ini?" laki-laki itu menatapku dengan ekspresi tak terbaca.

"Apakah itu termasuk kedalam list pertanyaan negaramu, Pak?" tentu saja dengan nada menyindir bukan hormat. Laki-laki itu hanya 3 tahun di atasku.

"Joana!" ia mengerang marah tapi aku tetap tidak peduli. Aku tidak takut dengan pistol yang selalu terselip di pinggang kiri dan kanannya. Malah aku ingin ia segera menari pelatuk pistol itu agar peluru didalamnya terbang menembus batok kepalaku. Kehidupan ini mulai terasa amat membosankan.

"Raza?" balasku dengan nada menggoda, aku berdiri kemudian mendekat kearahnya. Menempelkan tubuh kami sampai tiada jarak sedikitpun diantaranya. Aku bisa merasakan ia mengeras dibawah sana. "Apa yang kau inginkan dariku?" bisikku tepat di telinganya. Kedua telapak tanganku mengelus dadanya dengan paha yang membelah kedua tungkainya. Percis seperti wanita penggoda.

"Keluarlah dari sini," ucapku kemudian. Aku menatap matanya lekat memberikan senyum miring andalanku. Senyum andalan yang membuat setiap lawanku menjadi marah. Hehehe...menyenangkan sekali saat melihat rahang laki-laki itu mengetat.

"Kenapa Raza? apa kau marah? Kalau begitu kenapa tidak kau tembak saja aku?" pintaku sambil mengelus dadanya, menatap permukaan datar itu penuh minat. Jujur saja, aku merasa aku sangat cocok menjadi seorang pelacur.

Kembali egoku merasa terangkat saat ia tidak bisa menarik pelatuknya menembak kepalaku. Walaupun sepertinya ia sangat ingin melakukannya. Tapi tentu saja tidak akan pernah ia lakukan sampai negaranya sendiri yang menjatuhkan hukuman itu. Karena aku sudah sudah berlaku kooperatif.

"Aku tidak wajib menjawab pertanyaanmu sekarang, 'kan? Tanyakan saja besok! Bersama pertanyaan-pertanyaan negaramu itu. Mungkin aku akan mengira pertanyaan itu tidak bersikap pribadi."

"Kembalilah tidur. Aku akan menanyakannya nanti. Begitu pula penawaranku kemarin." Raza melangkah keluar dari selku. Menutup pintu itu dengan pengamanan ekstra. Terserah saja. Lagipula aku tidak berniat kabur...ataupun menerima penawaran laki-laki itu.

Aku kembali berbaring berusaha memejamkan mata tanpa mampu terlelap...awalnya. Tapi setelah beberapa menit kantuk mulai menyerangku.

-----

"Baby...Jo kamu meraih peringkat pertama lagi?" Joana tersenyum bangga sambil menyanyi riang dan menyerahkan hasil ujiannya pada sang ayah. Baru tiga bulan ia masuk Sekolah Dasar ia sudah mampu menguasai pelajaran anak kelas satu sampai kelas 6.

Bahkan, Joana sudah menyelesaikan seluruh bacaan yang ada di perpustakaan sekolahnya. Kecerdasan Joana membuat para guru memberikan ujian kenaikan kelas 1,2, dan 3 di minggu pertama gadis itu menginjakkan kakinya disekolah. Para guru sangat terkejut dengan hasil yang diperoleh gadis 5 tahun itu. Hasil yang begitu sempurna untuk anak semuda itu. Oleh karena itu guru-guru membimbing Joana secara khusus. Mengajarkan materi anak kelas 4 SD selama 2 minggu dan menguji gadis itu lagi.

Saat melakukan ujian Joana tertidur di menit ke 15. Membuat para pengawas menatap gadis itu bingung. Dengan penasaran salah satu petugas meraih lembar jawaban gadis itu dan mencocokannya dengan kunci jawaban. Dan hasilnya sudah dapat mereka prediksi, bahkan lebih, Joana lulus ke kelas 5 SD dengan nilai sempurna. Hanya dalam waktu 15 menit Joana mampu menyelesaikan 580 soal dengan benar.

Sejak itu para guru mengundang kedua orang tua Joana dan melakukan rapat dengan beberapa instansi-instansi pendidikan negara. Joana mendapat perlakuan khusus. Berbeda dengan Juwita yang duduk di kelas satu sekolah dasar, sibuk bermain dengan beberapa teman sebayanya, Joana harus menghabiskan harinya di ruang guru untuk persiapan ujian nasional.

Tidak berbeda dengan sekolah dasar, di sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Gadis itu tamatkan hanya dalam dua tahun. Satu tahun di SMP dan satu tahun di SMA, seharusnya bisa lebih cepat namun mempertimbangkan kondisi psikis anak berusia 6 tahun itu kedua sekolah sepakat mengundur kelulusan Joana dan lebih memperhatikan pengajaran interaksi sosial Joana dengan teman-temannya.

Sementara Joana mulai masuk ke universitas, Juwita duduk di bangku kelas empat SD, menerima curahan kasih sayang penuh dari kedua orang tuanya. Lalu bagaimana dengan Joana? Tentu saja gadis itu mendapat kasih sayang sama besarnya, namun kesibukannya di universitas dan beberapa profesor yang mengajaknya menjadi asisten di penelitian mereka, membuat waktu Joana untuk bersenang-senang semakin berkurang.

Joana tidak keberatan sama sekali, karena saat itu kesenangannya adalah belajar, dan kebahagiaannya adalah saat melihat kedua orang tuanya tersenyum bangga menyaksikannya menerima mendali-mendali penghargaan itu.

Di usianya yang kesepuluh tahun, Joana mendapat gelar dokternya. Hanya seorang dokter umum yang sudah melakukan banyak penelitian. Iapun diminta menjadi asisten dosen khususnya di bidang anatomi dan embriologi. Terkadang ia menjadi persentator yang mempersentasikan hasil penelitian beberapa profesor yang memintanya menjadi asisten dalam penelitian mereka.

Joana sempat menjadi dokter yang bertugas di emergency room sebelum memutuskan untuk mengambil spesialisnya. Empat tahun kemudian Joana sudah mendapatkan gelar sebagai spesialis BTKV.

Namun sayang, sinarnya yang terang benerang membuat beberapa orang silau. Mereka merencanakan untuk meredupkan sinar itu. Dari membully gadis 14 tahun itu, sampai akhirnya Joana terperangkap dalam situasi yang rumit. Dimana ia di hadapkan pada pilihan untuk mengoperasi pasien sendirian tanpa bantuan perawat, dokter anestesi, dan residen bedah lainnya atau membiarkan pasien tersebut meninggal.

Joana mengambil pilihan pertama, dimana pilihan tersebut sangat melanggar etika kedokteran. Walaupun pasien tersebut akhirnya selamat, Joana harus kehilangan pekerjaannya dari rumah sakit itu.

Kesedihannya tidak berlangsung lama, karena sang Ayah yang selalu mendukungnya. Memberikan semangat, dan memanjakannya setiap hari. Yang pada akhirnya membuat Joana memutuskan untuk berhenti menjadi seorang dokter dan memilih berlibur bersama kedua orang tuanya dan adik kembarnya.

Joana merasa itulah puncak hidupnya, kebahagiaan yang tidak terbatas setiap harinya. Sayang setiap puncak selalu memiliki dasar. Dan...Joana sendiri tidak menyangka ia akan di lempar ke dasar tepat 4 bulan setelah ia merasakan kehidupan bahagianya. Terlepas dari lembar-lembar buku pelajaran atau hiruk pikuk rumah sakit. Ia terjebak dalam sebuah neraka tanpa batas.

TBC

Siapa yang sudah pengen baca cerita ini?

Stuck In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang