masih flashback
Ia tidak lagi merasa hidup. Bukan seperti ini yang ia inginkan. Bukan masa depan seperti ini yang ia harapkan saat mengenyam pendidikan kedokteran. Ia ingin menyelamatkan orang. Bukan malah membunuhnya.
Gadis 15 tahun itu mencuci tangannya, menggosok amat keras sehingga menimbulkan ruam kemerahan pada kulitnya. Ruam yang berbentuk garis, garis panjang. Sudah 15 menit ia membersihkannya, namun bau darah masih saja tercium. Hampir satu tahun hal itu menjadi rutinitasnya.
Ia tidak menyangka, bahkan kurang dari satu tahun ia sudah membunuh lebih banyak orang dibanding 15 tahun kehidupannya. Joana bingung, ia tidak berdaya. Ingin pergi... namun keluarganya yang akan menjadi taruhannya.
Ia bukan lagi Joana yang dulu, sinarnya tidak lagi terang, bahkan kini ia menyatu dalam kegelapan. Pantulan bayang wajahnya pada cermin kini terlihat menyeramkan. Tak jauh bedanya dengan iblis neraka.
Tanpa ia sadari tangannya sudah mengepal, melayang menghantam cermin itu hingga menimbulkan retakan. Membuat punggung tangannya berdarah dan terasa nyeri. Joana tahu ia telah menimbulkan beberapa retakan pada tulang jemarinya. Namun ia tidak peduli. Ia tidak peduli akan sakitnya.... atau lebih tepatnya, sakit akibat patah tulang itu... tidak lebih sakit daripada hati dan fikirannya.
Raut wajah polos anak berusia 5 tahun itu... kembali terbayang. Pertanyaan polosnya kembali terngiang. Permohonan sederhananya membuat Joana terenyak. Joana bukan Tuhan, namun dengan tangannya ia berperan sebagai Tuhan. Dengan tangan itu ia memutuskan siapa yang harus mati detik ini. Dengan tangan itu pula ia menukar sisa nyawa anak sehat tadi dengan anak yang seharusnya mati.
Joana meluruh, membenamkan wajahnya pada lutut. Gadis itu menangis, ia berteriak. Kedua tangannya mencengkram rambutnya yang kini sudah terpotong pendek.
Ia terus berteriak, ia terus menangis... di hari ulang tahunnya ini, ia sudah membunuh orang keseratus. Sudah 100 orang! Seratus nyawa tanpa dosa! Ia lenyapkan begitu saja, sungguh... ia tak berdaya. Ia tidak ingin kehilangan anggota keluarganya.
Joana memang egois. Demi nyawa 3 orang terkasihnya, ia terus menerus melakukan tindak kejahatan ini.
"Am I going to die?" pertanyaan itu kembali terdengar.
"Diam!" bisik Joana, walau mata gadis itu tertutup. Wajah bocah 5 tahun itu masih terlihat amat jelas. Air mata yang mengenang di pelupuk, bibirnya yang terlihat pecah-pecah, kulitnya yang begitu pucat dan kusam. Joana pertama kali melihat anak itu 4 bulan yang lalu.
Anak yang tidak diinginkan oleh kedua orang tuanya, gadis itu awalnya dibawa untuk menjadi anak didik Joana. Ia amat pintar, setiap kata yang Joana ucapkan sangat ia perhatikan.
Apa yang Joana bilang boleh dan tak boleh dilakukan selalu ia turuti. Joana menyukai gadis itu. Dalam kegelapannya itu ia merasa tenang. Ia tidak lagi sendiri. Ia tidak lagi merasa takut akan monster yang mulai tumbuh dalam dirinya. Karena hanya dengan melihat bocah 5 tahun itu. Joana merasa ia berada di dekat cahaya.
"Kita akan dibayar mahal," tapi memang sepertinya Tuhan tidak pernah menyukainya. Entah apapun yang Joana suka atau sayang akan selalu direbut darinya. Keluarga, hati, jiwa, bahkan kini... sedikit rasa sayangnya harus direbut.
Gadis 5 tahun dan 15 tahun itu hanya mematung mendengar perintah Juan Luciano. Mereka tidak bicara. Mereka berdua tiba-tiba tuli. Hati Joana mencelus.
"Putri perdana mentri itu memiliki kelainan jantung bawaan, seluruh dokter sudah menyerah. Jika kau bisa menyembuhkannya, dia berjanji kita akan dengan bebas melakukan pertukaran senjata maupun narkoba. Polisi-polisi bodoh itu tidak akan mampu menyentuh kita walau mereka tahu. Kita tidak harus terus bersembunyi. Kau akan memberikan jantungmu padanya, apa kau mengerti?"
"Saya mengerti," jawaban tegas anak berusia 5 tahun itu tidak membuat Juan Luciano terketuk hatinya. Alih-alih, laki-laki itu malah menyeringai puas.
"Dan kau Joana, aku akan memberimu hadiah jika kau berhasil. Kau bisa bertemu keluargamu untuk satu minggu."
Berjam-jam berlalu, kini mereka ada di ruang pemeriksaan. Putri perdana mentri itu sangat cantik. Secantik boneka yang terbuat dari porselen. Rambut pirangnya, mata birunya, dan kulit pucatnya. Ia terlihat bagai seorang putri.
Setiap orang memiliki keegoisan masing-masing. Mereka tidak akan perduli harus menyakiti orang lain jika itu untuk kebahagiaan orang terkasih mereka.
Beberapa minggu kemudian, dengan beberapa tahap pemeriksaan, dengan hasil kedua jantung mereka cocok. Operasi sudah bisa dimulai. Dengan bantuan anastesi, bocah 5 tahun itu sudah mulai di bius.
"Jo~~" panggil anak itu pada Joana. Suaranya sudah melemah. Kantuk sudah mulai terasa. Perlahan tangannya sudah mati rasa.
"Am I going to die?" Joana tidak menjawab. Ia tidak mampu menjawab. Tidak berselang lama gadis itu kembali berbicara.
"Terimakasih, karena sudah menjadi temanku Jo. I love you. Bisakah aku meminta satu hal padamu?"
"Apa?" tanya Joana dengan suara serak.
"Can you please remember me.... Remember my name?"
"What's your name?" Joana tidak pernah menanyakan nama gadis itu, begitu pula gadis itu tidak pernah memperkenalkan namanya. Selama 4 bulan itu, bocah 5 tahun ini telah menjadi bayang-bayang Joana. Joana tidak perlu memanggilnya ataupun menyebut apa kebutuhannya, karena anak itu cepat tanggap. Bahkan tanpa meminta, ia sudah tahu apa yang Joana butuhkan.
"Alena... kumohon jangan lupakan aku Jo, thanks for being my big sister." setelah itu, Joana tidak lagi mendengar suara Alena. Gadis itu sudah tertidur dalam pengaruh anastesi. Selanjutnya gadis itu tidak pernah terbangun lagi.
Di hari ulang tahunnya, Operasi transplantasi jantung pada putri perdana mentri itu berjalan lancar.
"Aaakkkkhhhh....AAAARRRGGHHHHHHH!" Joana kecil berteriak semakin kencang. Ia tidak bisa melupakan senyum yang Alena tunjukan padanya. Kenapa anak itu tersenyum? Kenapa anak itu malah mengaku mencintainya padahal ia tahu Joana akan membunuhnya? Mengapa Joana harus merasakan ini?
Joana menyandarkan tubuhnya ke tembok. Tangannya yang tadi meremas rambut kini terkepal memukul dada. Rasanya sakit. Amat sakit. Ia hancur. Ia mati. Ia menangis terisak, menangis histeris. Namun walau ia sudah menangis cukup lama, rasa sakit itu masih terasa. Perih masih mengendap di hatinya.
Sakit yang tidak terlihat, namun terasa begitu menyiksa. Bahkan setelah ia mendapat hadiahnya, ia tidak merasa bahagia.
"Ayah.... ayah...." dalam dekap hangat Ayahnya, Joana menumpahkan seluruh rasa sakitnya. Ia menangis, tidak kunjung berhenti. Terus dan terus menangis. Terisak-isak bahkan membuat yang mendengar ikut merasa tersayat.
Ibunya dan Juwita hanya mampu terdiam. Mereka tidak tahu apa yang telah dialami Joana. Namun mereka tahu, Joana butuh pertolongan. Mereka tahu, jika terus seperti ini, Joana akan mati. Secara mental bukan fisik.
Mereka harus mengeluarkan Joana dari tempat ini. Harus.
TBC
Bonus update khusus buat kalian yang masih bertahan
Masih setia membaca, vote dan komen walau 1,5 tahun ku gantung
I love u guys :*

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck In Love
RomanceRaza menatap gadis itu dengan pandangan kosong, selama tiga hari ia mengintrogasi gadis itu. Lagi, dan lagi ia hanya mendapatkan jawaban yang sama. Tidak, bukan karena jawaban yang tidak relevan. Namun, karena gadis itu mengakui semua perbuatannya d...