3. Samuel Lucifer (joana)

448 37 4
                                    

Bunyi berdebum, membuatku mengalihkan pandangan kepintu ruang introgasi ini. Guncangan keras menyusul sedetik kemudian dengan pasir-pasir berjatuhan dari langit-langit.

"Awaaaasss!!!" kudengar teriakan Raza sebelum tubuhku terhentak kedalam pelukannya. Tepat di tempatku berdiri tadi, langi-langit terjatuh. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya dengan raut khawatir. Akupun begitu, bukan mengkhawatirkan kematian. Aku lebih memilih mati daripada orang-orang itu menemukanku.

"Akhirnya, kami menemukanmu." Tuhan memang membenciku. Pintu ruang introgasi terbuka, memperlihatkan sesosok mimpi burukku selama ini. Sam. Samuel Luciano. Tidak. Bukan laki-laki itu yang menjadi sosok mimpi burukku, tapi seluruh keluarga Luciano atau harusnya mereka menyandang nama keluarga Lucifer, itu terasa lebih cocok.

"Lama tidak melihatmu." ucapku dingin dengan sorot membunuh. Laki-laki itu dan beberapa orangnya meneguk ludah ketakutan, tentu saja! Tidak ada yang berani melawanku, tidak satu orangpun kecuali mereka yang menggenggam kelemahanku, dan menggunakannya untuk memanfaatkan seluruh kemampuanku.

"Ayah mengirimku untuk menjemput putri tercintanya." Cih! Dengan gerak cepat aku menarik pistol yang selalu tersimpan rapi di pinggang Raza mengarahkannya pada kepala Samuel. Laki-laki itu terkekeh dengan menatapku remeh. Bodoh!

"Ibuku sudah mati!" ucapku dengan nada seringan kapas, namun menusuk. Ia tidak bisa menggunakan keluargaku sebagai bentuk ancaman lagi. Terlebih Juwita aman bersama Agni. Laki-laki itu tidak akan tahu keberadaan Juwita.

"Kau tahu, Ibumu mungkin telah mati." Samuel terbahak keras, "tapi bagaimana nasib adikmu yang coba kau sembunyikan di rumah keluarga Baskhara itu?" Tubuhku menegang, laki-laki itu tahu?

"Aku mati, kaupun begitu." Samuel memberiku kode untuk melihat orang-orangnya yang telah siaga mengarahkan berbagai jenis pistol kekepalaku. "Entah berapa puluh laki-laki akan menjamah tubuhnya..."

"Bajingan..!" Makiku, secepat itu aku berubah fikiran, pistol yang tadinya kuarahkan pada Samuel, kini berbalik menuju Raza. Harus aku. Harus aku yang menembakan peluru itu.

Dengan jarak sedekat ini, aku tidak mungkin meleset. Dua kali. Dua peluru kutembakan pada tubuh Raza. Membuat laki-laki itu segera kehilangan kesadarannya. Aku seorang dokter, juga pembunuh. Tidak sulit untukku menentukan titik lemah seorang manusia, terutama laki-laki itu.

Kembali terngiang permintaan bodohnya. Aku? Hidup bahagia dengannya? Sampai neraka membekupun, itu tidak akan pernah terjadi. Hanya ada aku atau dia. Bumi tidak cukup luas untuk kami berdua. Selamat tinggal Raza. Senang bisa mengenalmu.

Setelah Raza tersungkur Samuel terbahak keras, bahkan kelima anggotanya ikut terbahak.

"Jangan hancurkan tempat ini, biarkan beberapa diantara mereka selamat." titahku.

"Sejak kapan kau memiliki belas kasihan?" Samuel menatapku penuh penghinaan.

"Berhenti mempertanyakan keputusanku atau kau akan menjadi salah satu dari ribuan korbanku."

"Kau tidak akan berani Joana." Aku mendengus mendengar kata-katanya. Ucapan tanpa kepercayaan diri penuh. Dengan langkah tegas dan mata menatap tajam, aku mendekat kemudian mencekiknya keras.

"Kau tahu, aku bisa membunuhmu sekarang dan kembali pada ayahmu. Laki-laki itu tidak akan membalas perbuatanku, karena ia lebih mencintai hartanya dibandingkan darah dagingnya sendiri." Aku menghempas tubuhnya, membuat Samuel membentur dinding yang sudah rapuh. Memperlebar retakan yang sudah tercipta.

Aku menatap puas saat Samuel terbatuk, dengan wajah memerah. Laki-laki itu mangap-mangap kekurangan oksigen.

"Aku ingin sebagaian dari mereka cukup kuat untuk menceritakan kajadian hari ini. Aku ingin seluruh Jakarta... tidak... seluruh Indonesia tahu bahwa polisi merekapun tidak dapat menghancurkanku."

Setelah memberikan tendangan keras, yang cukup kuat untuk mematahkan satu-dua rusuk laki-laki itu, aku melangkah menuju mobil yang sudah menunggu kedatangan kami. Mengabaikan sumpah serapah yang laki-laki itu lontarkan.

Dalam mobil yang mengangkutku juga Samuel, aku bisa melihat kobaran api hampir melahap seluruh gedung. Raza...

-----

"Selamat datang putriku," ucap laki-laki berbadan tambun dengan wajah menjijikan yang membuatku mual.

Juan Luciano. Mafia terbesar kedua se ASIA setelah keluarga Egorger. Egorger, hanya menyebut nama itu sudah membuat hati Joana terasa perih. Betapa ia merindukan laki-laki itu.

"Berhenti basa basi. Aku lelah," ucapku ketus. Juan Luciano tidak tersinggung, tidak akan pernah walau bagaimanapun perlakuanku.

"Baiklah baiklah," Juan terkekeh senang, "Tapi sebelum kau tidur, aku ingin memberikan hadiah untukmu. Akhirnya setelah bertahun-tahun, kau kembali." Laki-laki gendut itu mengalihkan tatapannya pada sang putra.

"Aku tidak membutuhkannya!"

"Benarkah? Tapi aku yakin kau akan senang dengan hadiahku. Samuel tunjukan pada Joana hadiahnya."

Kulipat kedua tanganku didada dengan wajah lelah. Apapun itu aku tidak tertarik.

"Agatha..." kutarik kembali kata-kataku. Wajahku memucat. Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin permata keluarga Pratama itu bisa berada disini?

"Kau lihat... bahkan adik mereka tidak bisa mereka jaga dengan benar. Bagaimana dengan adik seorang pembunuh tidak berharga?" bisik Samuel penuh ancaman.

Samuel menarik rantai yang mengikat pergelangan tangan Agatha. Mulut gadis itu tersumpal dengan penampilan acak-acakan bak pengemis. Air mata mengering di kedua sisi wajahnya.

Tanpa perasaan kasihan, Samuel menendang tubuh Agatha hingga gadis itu tersungkur. Bajingan! Bajingan busuk!

Mereka tertawa terbahak saat mendengar jerit tertahan Agatha. Berapa laki-laki telanjang dengan kemaluan yang sudah membengkak maju mendekati gadis lemah itu.

Sambil berbekal pisau lipat mereka merobek-robek pakaian gadis itu, kemudian menyayat tubuh Agatha senti demi senti. Ia menjerit kesakitan. Menatap kearahku dengan penuh permohonan.

"Hentikan..." perintahku tenang berusaha tidak terlihat tertarik.

"Ada apa Joana? Apakah terkurung beberapa hari di penjara membuatmu menjadi lemah?"

"Tutup mulutmu Samuel! Bagaimana kalau kita beradu, dan kau bisa bicara lagi setelah mulumu kurobek-robek?"

Juan terkekeh senang melihatku mengancam putranya, "Bagus sekali Joana. Bagus. Lama tidak melihatmu kau masih tidak kehilangan taringmu."

"Senang mendengar pujian anda 'tuan'..." ucapku dengan nada remeh, "kau masih terlihat seperti babi walau bertahun-tahun kita tidak berjumpa." tambahku.

"Kurang Ajar!" bentak Samuel berjalan cepat kearahku, aku tidak mampu menghilangkan seringai setan yang selalu keluar tanpa kusadari. Dengan gerak cepat aku meraih pisau lipat salah seorang laki-laki yang menggores tubuh Agatha, kemudian melemparnya kearah Samuel.

Pisau itu menusuk tepat di pahanya, sesuai yang kuinginkan.

"Sebaiknya kalian segera membawanya kerumah sakit, atau laki-laki itu akan mati dalam beberapa jam. Dan jangan cabut pisau itu jika tidak ingin ia mati dalam hitungan detik." Membunuh tidak harus menusuk jantung atau menggores leher. Cukup tahu dimana pembuluh-pembuluh darah besar, maka membunuh tanpa melukai organ vital akan sangat mudah. Yeah... jika pembuluh darah tidak termasuk sebagai organ vital.

Beberapa diantara mereka segera menjalankan perintahku, "Terimakasih untuk hadiahku, Juan." Aku kembali merebut pisau salah satu dari kelima laki-laki telanjang itu.

"Aku sangat menyukainya, sayang, aku tidak suka milikku dirusak orang lain." Dengan langkah pelan, aku mendekat pada satu per satu laki-laki dengan tubuh telanjang itu.

"Kau tidak keberatan aku membalas mereka dengan setimpal bukan?" tanyaku pada laki-laki yang semakin terlihat senang dengan pertunjukan yang ku buat. Dasar gila!

"Silahkan Joana, kau bisa berbuat sesukamu."

Dengan mata masih terarah pada manik Agatha. Aku menghabisi satu per satu laki-laki itu. Mengiris leher mereka sampai hampir terputus.

TBC

Stuck In LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang