Bab 7

5.6K 464 31
                                    

"Ngapain pasang muka jutek gitu? Bikin pengin muntah aja!"

"Ya udah, siapa juga yang nyuruh situ mandangin wajah sini!"

"Dasar kepedean!"

Nawang melotot demi mendengar gerutuan calon kakak iparnya itu. Jika bukan karena perintah Papanya, dia tidak mungkin mau melakukan perjalanan tidak menyenangkan bersama pria itu. Berada dalam satu pesawat, bahkan satu bangku dengan Wira, membuat Nawang benar-benar tidak nyaman.

Nawang menyandarkan punggung lelahnya ke sandaran kursi. Dia mencoba menutup mata, dan berusaha mengabaikan makhluk super menyebalkan di sampingnya. Perjalanan yang akan ditempuh mereka masih panjang. Gadis itu berpikir jika dia tidak ingin kehabisan energi, hanya untuk meladeni sikap Wira yang menurutnya sangatlah konyol.

"Kamu yakin mau nikah sama Wisang?" Pertanyaan macam apa itu. Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba mulut itu berkata dengan nada meremehkan. Yang bahkan tidak berusaha ditutupi oleh yang empunya.

Sialan! Nawang bahkan tidak pernah merasa sehina itu.

Nawang yang sudah berada di ambang mimpi, terpaksa menanggapi dengan desahan malas. Seharusnya dia bisa menikmati sedikit perjalanan itu, setelah beberapa hari ini harus lembur hingga larut malam. Menerima laporan dari seluruh cabang selalu tidak menyenangkan, karena dia harus mau terjebak rapat panjang dengan beberapa divisi.

Papanya seperti sudah melepas Nawang, meski belum sepenuhnya. Agung mulai membiarkan gadis itu, berurusan dengan semua menejemen hotel sendirian. Rasa lelah jangan ditanya lagi. Juga sedikit frustasi, karena jarang bertemu dengan Wisang. Hal ini juga menjadi penyebab, Nawang sedikit sensitif akhir-akhir ini. Setelah kedua orangtua Wisang datang ke rumah untuk melamar Nawang secara resmi, sepertinya Agung Putratama juga sudah memiliki kesepakatan bisnis baru dengan Wira.

Acara pertunangan itu berlangsung sangat sederhana. Hanya kedua keluarga inti saja yang menjadi saksi ikatan mereka. Karena Nawang dan Wisang memang maunya demikian. Mereka tidak ingin, peristiwa berkesan itu menjadi konsumsi umum. Meski seperti biasa, Wira mencemooh habis-habisan kesederhanaan mereka. Tapi baik Nawang maupun Wisang, tidak mau ambil peduli. Mereka beranggapan, jika Wira hanya iri dengan kebahagiaan mereka. Toh, mereka juga tidak pernah mencampuri urusan Wira.

"Kenapa? Nggak ada masalah sama Kak Wira kan, kalo misalnya kita langkahin?" Nawang menanggapi dengan santai, tidak ingin terpancing emosi seperti harapan Wira. Sungguh kekanakan. Dia menutup mulutnya yang menguap lebar dengan satu telapak tangan.

"Kalian pikir menikah itu mudah?" cemooh Wira kembali membuat Nawang kian sakit hati. Gadis itu tidak tahu saja, jika Wira tengah memaki-maki di dalam hati.

"Daripada menyebar benih mubazir di mana-mana!" balas Nawang tidak kalah jengkel. Menikah atau tidak, bukankah itu urusan pribadi seseorang? Aneh saja. Seseorang yang tidak memahami komitmen, tidak seharusnya mencampuri rencana masa depan orang lain.

"Bukankah artinya wanita di mana-mana sama saja? Mereka hanya perlu dipuaskan dan dibanjiri banyak uang, maka urusan pernikahan tidak menjadi sakral lagi."

Inginnya Nawang mencekik leher pria itu, hingga tidak mampu bernapas lagi. Sayang, dia hanya mampu melirik setajam pedang pada Wira, yang masih saja memasang tampang datar. Sepertinya pria itu memang kelewat percaya diri. Bahwa dengan ketampanan dan seluruh kekayaan yang dimiliki, dia sudah bisa menguasai dunia.

"Tidak semua orang berpandangan picik seperti Kak Wira! Aku lega karena Wisang tidak mengikuti jejak kakak yang sepertinya memang sudah tidak tertolong!" Begitu mengatakan hal itu, Nawang langsung membuang muka. Dia tidak mau muntah di depan wajah Wira, karena melihat pemandangan gugusan awan di luar jendela jauh lebih mengasyikkan.

Janji Cinta (ENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang