Bab 21

6.3K 625 28
                                    

Ketemu lagi bareng Mamas Wira dan Nawang.

Selamat membacaaaaa

Boleh dikatakan, sekarang Wira memiliki kesabaran yang maha luas. Perbuatan iseng tangan Nawang bukan hanya membuat bulu di dadanya semakin ingin dibelai, tetapi seluruh tubuhnyapun sudah mendambakan sentuhan jemari halus itu. Membutuhkan konsentrasi luar biasa untuk membawa langkahnya berhasil mencapai pintu pondokan Nawang.

Wira menurunkan tubuh Nawang dengan hati-hati, mengawasi ketika wanita itu mengambil kunci dari bawah pot bunga kecil di teras. Dia memeluk tubuh beraroma citrus itu dari belakang, ketika Nawang mulai sibuk memasukkan anak kunci ke dalam lubang di pintu.

Bibirnya tidak mau berhenti mengecap manisnya kulit punggung Nawang, hingga membuat Nawang menggeliat tidak nyaman. Pintu kamar itu sudah terbuka, tapi Wira masih belum melepaskan cumbuan panasnya.

"Kak, geli!" Nawang sedikit menyeret tubuh memasuki kamar, dengan Wira masih menempel di punggungnya. Dengan sedikit susah payah, Nawang berhasil menggerendel pintunya. Wira masih berkutat dengan punggungnya, sementara kedua tangan lelaki itu mulai bergerilya membuka kancing gaun Nawang. Wira menariknya tanpa buru-buru, hingga bahan sifon lembut itu jatuh tidak berdaya di atas lantai.

Tubuh Nawang mulai menggigil ketika telapak tangan Wira membelai kulit perut dan pahanya yang sensitif. Dirinya sudah seperti terbakar, dengan sentuhan selembut sutra itu.

"Kenapa denganmu? Apa kamu sakit?" Wira bertanya dengan suara serak penuh gairah. Lelaki itu akhirnya melepaskan tubuh Nawang, sebelum membimbingnya untuk berbaring di atas ranjang.

Nawang terbaring dengan posisi telentang, hingga mengekspos pakaian dalaman yang dikenakannya. Wanita itu berusaha meraih selimut yang terletak di kaki ranjang, tapi tangan Wira menahannya, "Kak, aku malu!"

"Kenapa harus malu? Buat apa menutupi semua keindahan itu dari suami kamu sendiri?" Wira tidak sekalipun memalingkan matanya dari tubuh molek Nawang, yang selalu membuatnya ingin meledak.

Tanpa membuka pakaian, lelaki itu menempatkan tubuh di atas Nawang, hingga kasur kecil itu terasa melesak, "Kamu masih bisa melarikan diri seperti saat di Restoran itu. Sekarang aku tidak mau apa yang nantinya kita lakukan, adalah sebuah keterpaksaan."

Wira menatap Nawang dengan pandangan dipenuhi dengan kabut. Bukannya menjauh, Nawang justru merasa tubuhnya hanya menginginkan sentuhan lelaki itu. Dia tidak pernah merasakan gairah, yang semakin lama justru terasa sangat menyakitkan. Dia membutuhkan Wira. Dia membutuhan lelaki itu untuk menuntaskan godaan itu. Dia kini merasa telah habis terbakar hingga ke akar.

Bukannya menjawab, Nawang justru mengalungkan kedua tangan di leher kokoh suaminya. Wira adalah suaminya. Nawang merasa itu tidak terlalu buruk. Nawang mendekatkan wajahnya, untuk kemudian mengulum bibir Wira dengan perasaan malu-malu. Wira yang merasa sudah mendapat lampu hijau, tidak ragu-ragu lagi membalas perlakuan istrinya. Bibir dan lidahnya menari dan meliuk dengan irama memabukkan, hingga membuat napas mereka saling memburu oksigen dengan rakus.

"Kak, lepasin dulu bajunya!" Nawang menjauh dengan napas masih tersengal, begitu pertautan bibir mereka akhirnya terlepas.

"Kamu saja yang melakukannya." Wira berguling ke samping, memberi kesempatan kepada Nawang. Jemari lentik Nawang mulai membuka satu demi satu kancing kemeja Wira, sebelum kemudian melepaskan gesper dari pinggang lelaki itu. Setelah itu, dia membiarkan Wira membuka sisa pakaian yang dikenakannya.

"Kak, bajunya belum lepas!" Nawang sedikit kesal, ketika lelaki itu mulai menginterupsi dengan meremas dadanya yang sudah tidak tertutup apapun. Tangan lelaki itu mendorong tubuhnya, hingga kembali ke posisi semula. Wira melancarkan aksinya kembali dengan menurunkan mulut ke dada Nawang yang bulat. Wanita itu menggigit bibirnya erat, berusaha meredam suara apapun yang keluar dari mulutnya.

Janji Cinta (ENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang