Bab 11

6.7K 498 31
                                    


Yuhuuu update lagi yaa

"Sekarang kita sudah sah sebagai suami istri secara agama, "ujar Wira dengan raut wajah lima tahun lebih tua. Kerut halus menghias ujung mulut dan kedua mata.

"Aku tahu!" Nawang membuang muka, tidak mau bersitatap dengan pria itu.

Mereka pada akhirnya berhasil keluar dari hutan. Ketika Wira akhirnya menyetujui permintaan Nawang, tidak berapa lama melintaslah dua rakit dari daerah hulu. Orang-orang lokal itu baru saja kembali dari merambah hutan. Damar dan rotan memenuhi rakit itu, ketika mereka akhirnya diperbolehkan ikut.

Setelah mendapatkan sinyal, semua menjadi mudah. Mereka dijemput sopir yang kemarin, dan diantar ke hotel yang sudah disewa. Pria setengah baya itu berkali-kali meminta maaf, dengan keteledorannya. Menurut penuturan pak Romi, mobil itu meluncur turun, saat dia sedang memindahkan koper dari bagasi belakang. Sepertinya dia lupa untuk mengunci rem. Niatnya ingin mengurangi beban, agar bisa mendorong mobil yang sudah lebih ringan. Rupanya karena hujan semalaman, jalanan yang mereka lalui menjadi licin. Tanpa dapat dicegah, mobil mereka tergelincir dari jalan utama.

"Pernikahan ini sudah terjadi. Akan lebih baik, jika kita secepatnya mengatakan kepada Papamu, mengenai apa yang sudah terjadi."

"Jangan berani-berani!" Nawang melemparkan tatapan tajam kepada Wira. Jelas sekali, dia sangat ingin memutilasi Wira menjadi serpihan.

"Jangan melakukan sesuatu yang akan merugikan dirimu sendiri. Istirahatlah, dan aku berada di kamar sebelah. Jika kamu ingin ditemani tidur, panggil saja diriku."

Wira cepat-cepat menutup pintu kamar Nawang, ketika melihat wanita itu bersiap melemparkan sepatu hak tinggi ke arahnya. Nawang menghempaskan tubuhnya yang lelah di atas kasur empuk, begitu telah memastikan pintu terkunci dengan baik. Rasanya begitu menyenangkan, ketika bisa kembali ke tengah peradaban.

"Pa, Ma. Maafin Nawang karena tidak bisa menjaga diri." Setitik kristal meluncur membasahi bantal. Nawang cepat-cepat mengusapnya. Dia menguatkan hati, bahwa dirinya bukan orang yang cengeng. Ibarat nasi telah menjadi bubur. Semua telah terjadi.

Nawang kemudian memutuskan untuk membersihkan badannya yang lengket. Setelah mengambil handuk, dia berjalan menuju ke dalam kamar mandi. Tangannya memutar keran air hangat, untuk mengisi bak mandi. Tidak lupa, dia juga membubuhkan sedikit aroma terapi. Dia membutuhkan segenap keberanian, untuk bisa berhadapan dengan Wira nanti.

Nawang segera merendam tubuh, begitu bak sudah terisi penuh. Setelah berada di penginapan, dia hanya sempat mencuci muka seadanya. Tidak mudah bagi Nawang untuk percaya pada Wira. Itu sebabnya, dia segera mendesak pria itu untuk segera mencari tokoh agama setempat. Tentu saja, untuk menikahkan mereka.

Nawang tidak bisa menerima risiko, jika Wira sampai ingkar. Wira entah terpaksa, atau sukarela, akhirnya memenuhi janji. Mereka menikah secara agama. Tentu saja Wira juga menjamin janji, jika pernikahan itu tidak akan tersebar keluar.

Nawang memejamkan mata. Tak dinyana, peristiwa itu datang bak banjir bandang. Kedua tangannya mencengkeram pinggiran bathtub dengan erat. Nawang tidak ingin mengingatnya lagi. Namun semakin dia ingin melupakan, justru bayangan itu semakin kencang menerjang.

Air bening kembali meleleh di sudut matanya. Tangannya gemetar, seakan tak sanggup untuk menyentuh permukaan kulit di tubuhnya. Matanya bahkan tidak ingin melihat sisa perbuatan Wira yang masih tertinggal. Andai bisa, dia ingin memukar tubuh dengan orang lain.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Terlebih ketika bayangan Wisang menari-nari di pelupuk matanya. Wira sudah merenggut segalanya. Sekarang dia tidak lebih hanyalah barang cacat. Tapi mengapa dia tidak mampu untuk membenci pria itu?

Janji Cinta (ENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang