Bab 20

7.1K 610 54
                                    

HAPPY READING

"Bukannya itu Kak Wira, ya?" bisik Winda disela makan malam mereka yang bersemangat. Mereka berhasil menguras semua uang Nawang, untuk memesan satu meja penuh dengan hidangan seafood menggoda selera.

Semua mata langsung menoleh pada arah pandangan Winda. Seorang lelaki tampan berkumis tebal tengah menebar senyum ramah untuk para tamu di sana. Tubuh atletisnya terbalut blacksuit mahal, yang sangat jelas menambah pesona yang dimilikinya.

"Ya Tuhaaan, dia tampan sekali. Baru kali ini aku dapat melihatnya langsung, dan ternyata bentuk nyatanya sangat tidak mengecewakan!" ujar Indri meneteskan air liur.

"Selamat malam, semuanya. Semoga kalian menikmati keramahan dan citarasa masakan paling Indonesia di Restoran kami." Wira akhirnya sampai di meja mereka. Senyumnya terkembang sempurna, menampilkan deretan gigi putihnya yang rata.

Hampir semua mata di meja itu tertuju kepada lelaki itu, seolah hidangan di sana tidak lagi terasa lezat karena kalah pamor dari sang pemilik, "Nawang, kamu tidak ingin memperkenalkan teman-temanmu kepadaku?"

Nawang sedikit gugup ketika pancaran mata dingin Wira singgah kepadanya, bukan tatapan hangat dan ramah seperti yang ditujukkannya kepada semua orang lain di sana. Nawang mengerjap sejenak, sebelum melemparkan senyum manisnya kepada semua anggota gengnya.

"Guys, kenalin ini Kak Wira. Dia ini kakaknya Wisang. Kenalin Kak, ini semua sahabatku waktu kuliah dulu. Ini Indri."

"Hai, Kakak ganteng."

"Ini Winda, dia sendiri yang udah nggak single."

"Jangan buka rahasia dong, Wang!"

"Terus yang ini Lita, dan yang itu Naomi. Mereka jarang pulang ke Indonesia, makanya sekalinya bisa ngumpul, kita biasa liburan bareng." Nawang berusaha tidak tergoda dengan harum maskulin yang menyerbu penciumannya.

"Iya, Kak. Biasanya sih, kita berenam sama Wisang juga. Sayangnya sekarang dia tambah sibuk, jadinya kita pergi berlima aja!" imbuh Indri dengan suara manja.

"Ayo, Kak. Temenin kita makan bentar dong, itung-itung buat gantinya Wisang. Mau ya?" ajak Lita yang tak sungkan menarik lengan Wira.

"Iya, Kak. Kan, jarang-jarang bisa makan satu meja bareng pengusaha populer kayak Kak Wira!" celoteh Lita yang sudah menarik sebuah kursi untuk tempat duduk Wira.

"Nanti saya ganggu keasyikan kalian lagi." tolak halus Wira yang ternyata tidak diindahkan oleh semua gadis itu.

"Sekaliii aja, Kak. Kita nggak akan minta dibayarin kok, soalnya semua menu ini udah diborong semua sama Nawang. Iya kan, Wang?"

"Iya, terus Nawang juga bilang kalo kita bisa belanja perhiasan di toko Kak Wira dengan diskon gede. Katanya tinggal kita ngomong aja sama Kak Wira. Beneran kan, kita nanti bisa dapet diskon gede kalo mau belanja di sana?"

"Itu—kapan aku ngom—" Nawang tidak jadi meneruskan ucapannya, begitu lirikan maut Lita seakan menyiletnya.

'Oh, boleh, boleh!" sahut Wira dengan nada sabar dan sangat bersahabat.

Nawang hanya melihat interaksi akrab antara Wira dan para sahabatnya. Betapa berbeda pribadi lelaki itu jika bersama orang lain, dan dirinya. Saat ini, Nawang hampir tidak mengenali sosok lelaki dingin bermata elang yang selalu mengintimidasinya. Wira berubah menjadi lelaki yang hangat, banyak senyum, penuh gurauan, dan sangat nyaman bercanda dengan orang lain.

Dan diriku dikacangin!

Nawang dibuat kian kesal, ketika Wira dengan suka rela mau disuapi secara bergiliran oleh para sahabatnya yang tampaknya memang sudah tergila-gila kepadanya. Nawang makan dalam diam, sambil sesekali matanya melirik pada Wira yang mengacuhkannya. Jika memang dia tidak menginginkan lelaki itu, mengapa hatinya sesakit ini melihat Wira bersendau gurau dengan wanita lain?

Nawang mencocol udang gorengnya pada sambal setan, yang langsung membuatnya kepedasan. Dia minum dengan cepat, tapi tak ayal matanya berair menahan pedas yang luar biasa di lidah. Tingkat kekesalannya bertambah, ketika tidak ada satupun dari sahabatnya itu yang mempedulikannya.

"Mau ke mana, Wang?" tanya Winda ketika melihatnya berdiri.

"Aku mau ke kamar dulu ya, udah kenyang, nih! Tenang aja, semua makanan ini udah aku bayar, kok. Aku capek banget, mau bobok cepet kayaknya." Nawang melenggang sambil memasang senyum manis. Padahal hatinya sedang sangat kecewa dengan mereka semua.

Biasanya makan malam itu akan asyik dengan ditingkahi cerita beragam mereka yang sudah lama tidak bertemu. Nyatanya karena Wira berada di sana, lelaki itu mendominasi semua orang, "Kamu nggak mau ikut bikin api unggun?"

"Nggak deh, kakiku pegel, nih."

"Makanya nggak usah sok keliling pulau pake sepeda! Mending ikutan kita, main di laut!" sahut Lita menyalahkan.

"Udah, ngapain dibahas juga. Kak Wira, aku titip mereka, ya."

"Ehm, hati-hati!"

Nawang hanya mengangguk kecil, sebelum melangkah meninggalkan Restoran. Suara musik jazz yang lembut mengiringi langkahnya keluar dari tempat itu. Kakinya bukan membawa dirinya ke penginapan, tapi justru melangkah ke pantai. Tempat itu terasa sangat sepi, dengan nyanyian debur ombak di kejauhan.

Nawang melepaskan sepatu hak tinggi yang dia kenakan, sebelum menenteng dengan tangan. Kakinya mulai menyusuri hamparan pasir putih yang masih hangat, karena sengatan matahari siang. Pikirannya masih melayang pada keramahan Wira, sekaligus efek mendebarkan dari senyum mempesona lelaki itu, yang sudah sangat mempengaruhinya.

Haruskah sekarang dia membuka hatinya untuk lelaki itu? Sepenggal asanya dengan Wisang, seakan tinggal buih yang menghilang bersama pasir. Hatinya sudah hampa. Tidak ada rasa menggebu, layaknya seseorang yang seharusnya sedang jatuh cinta, dan menginginkan sang pujaan hati selalu di sisinya.

Nawang mulai membenarkan perkataan Papanya. Hubungannya dengan Wisang memang tidak pernah berubah, meski sudah berstatus sebagai tunangan. Mereka berdua terlalu memahami karakter masing-masing, hingga rasanya ada kebosanan melanda manakala dipaksakan. Tidak ada rindu yang mendayu, ketika keduanya berpisah dalam waktu yang lama. Tidak pernah ada ungkapan romantis ataupun cinta yang berbusa-busa, karena mereka sudah terbiasa dengan kejutan-kejutan di hari yang lalu.

Mungkinkah Wisang juga mulai bosan kepadanya? Lelaki itu memang selalu ada untuknya. Tapi siapa yang bisa menjamin, jika di luar sana Wisang juga tidak memiliki rasa suka kepada gadis lain? Sepertinya kesibukan bukanlah alasan, jika lelaki itu memang merindukannya. Tidak ada alasan apapun, jika memang ingin bertemu.

Nawang duduk di atas pasir, sambil bertopang dagu. Angin malam meniup poninya hingga keluar dari jalinannya. Namun Nawang terlihat asyik tenggelam dengan lamunan. Bukankah sekarang dia adalah istri orang? Mengapa dia masih saja memikirkan lelaki lain? Hubungannya dengan Wisang, memang sudah seperti kemustahilan.

"Angin malam tidak baik untuk kesehatan kamu." Nawang menoleh, dan terkejut ketika sebuah suara lembut dan dalam menyapa gendang telinganya. Sebuah jas berbau khas lelaki itu sudah tersampir di bahunya yang telanjang. Nawang menghirup banyak-banyak aroma itu, yang ternyata sangat dirindukannya.

Dia merindukan Wira Narendra Adhiweda.

Sungguh sulit dipercaya.

"Kok, Kak Wira ada di sini?" Nawang mencoba tidak mempedulikan lelaki yang kini duduk menjajarinya, padahal sesungguhnya hatinya tengah menari hula-hula.

"Bukan kamu aja kok, yang pengin nikmatin suasana pantai malam hari. Lagian sama suami sendiri kok, jutek gitu!"

"Tau, ah!"


Jangan lupa tinggalin jejak ya, biar author tambah semangaddd


Regard, 


Maya B.

Janji Cinta (ENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang