Bab 13

3.8K 323 10
                                    


Happy reading, jangan lupa tinggalin jejak yaa


"Sampai kapan kamu mau menghindar dariku?"

Nawang hanya melirik sejenak, sebelum kembali menyesap kopi yang masih mengepul. Sebisa mungkin, dia berusaha untuk tidak memepdulikan kehadiran lelaki itu. Sialnya, harum parfum maskulin Wira, berbaur dengan aroma kopi yang dihirup oleh Nawang. Mau tidak mau, benaknya memunculkan kembali kenangan yang ingin dikubur dalam-dalam itu.

"Mau apa ke sini? Masih belum cukup semua yang udah Kakak lakukan ke aku?" tanya Nawang, dingin. Dia tahu, lelaki itu pasti akan menyusulnya.

Tanpa tahu malu, Wira duduk di kursi kosong di samping Nawang, "Aku kangen kamu, masa nggak boleh menjenguk istri sendiri!" balas Wira seenaknya.

Wira menyender dengan santai. Satu tangannya terjulur di belakang punggung Nawang. Setelah itu, dia duduk menyilangkan kaki dengan elegan.

"Tutup mulut, Kakak!" Nawang meletakkan cangkir dengan keras. Dia sama sekali tidak menutupi kegusaran di wajahnya. Sudah jelas terlihat, jika Nawang hanya ingin satu hal. Wira segera pergi dari hadapannya! Nyatanya, keinginan hanya tinggal keinginan. Wira bukan lelaki yang mudah digertak.

"Aku baru tahu kalau hotel ini punya rumah kaca yang sangat indah. Semua tanaman hias di sini, sepertinya berasal dari varietas terbaik. Mereka juga tumbuh dengan sangat cantik. Aku rasa, kamu merawatnya dengan sangat baik, bukan?" Mata Wira memindai seluruh sudut rumah kaca milik Nawang.

"Aku tidak terkesan sedikitpun dengan pujian itu!" ketus Nawang. Dia menepis kasar tangan Wira, ketika mulai menyentuh bahunya.

"Tidak masalah, karena aku hanya ingin mengungkapkannya. Bukankah ini sangat cocok sebagai tempat untuk bercinta, sayang?"

"Dasar lelaki kurang ajar! Sudah cukup kakak menghancurkan hidupku! Sekarang aku tidak memiliki apapun lagi untuk dibanggakan! Tuhan bahkan mungkin sedang marah kepadaku!" teriak Nawang kian gusar. Tanpa berpikir, satu tangannya melayang ke pipi lelaki itu.

Wira meringis menahan pedih. Tidak menduga saja, jika Nawang akan menamparnya lagi. Dia sudah hampir mengumpat. Tentu saja bukan hanya Nawang yang berhak marah. Diapun berhak melakukannya.

Ucapannya mungkin memang sudah terlalu kurang ajar. Tiga bulan tidak bertemu, ternyata banyak mengubah Nawang. Di mata Wira, wanita itu terlihat jauh lebih kurus. Cahaya hidup dan keceriaan di mata Nawang, seakan telah meredup. Seketika dada Wira serasa diremas, "Wang, kita bisa membicarakan semuanya dengan keluarga kita. Aku juga bersedia menjelaskan kepada Wisang, semua yang sudah terjadi di antara kita."

"Jangan coba-coba melakukannya! Aku tahu, itu memang hal yang diinginkan Kak Wira! Tapi aku tidak akan pernah menyetujuinya!"

"Tapi kamu tidak mungkin menikah dengan Wisang!"

"Siapa yang bilang? Pernikahan kita tidak pernah tercacat di KUA, dan aku tidak butuh Kak Wira jadi suamiku!" balas Nawang dengan mata menyala marah. Dia menatap Wira, yang terlihat masih anteng di tempatnya.

"Tapi aku tidak akan pernah mau menceraikanmu!" kata Wira santai. Dia menyilangkan kedua tangan di depan dada, seakan tak peduli dengan kesulitan Nawang. Mata elangnya tidak kalah keras kepala, ketika menatap sosok Nawang yang kini telah berdiri tidak jauh darinya.

Wira tidak mau melepaskan Nawang, dan alasannya mungkin terkesan sangat egois. Namun dia sendiri tidak mengerti dengan properti paling berharga miliknya. Jangan mengira dirinya mau hidup selibat, meski tak bisa menyentuh Nawang. Dia memiliki banyak wanita di luar sana, kekasih, dan selingkuhan yang sangat membutuhkan sentuhan.

Janji Cinta (ENDING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang