Fragmen|5

462 134 70
                                    

"Kalau aja kamu gak lahir, ini semua gak akan terjadi!"

"Kenapa aku?"

"Kamu yang udah buat keluargaku hancur. Itu, kan, yang kamu mau? Karena kamu udah gak punya Bunda, jadi kamu mau buat aku juga kehilangan semuanya!"

"Gak gitu!"

Perdebatan yang terjadi di antara dua anak kecil itu terlihat abu-abu. Percakapan tersebut diakhiri dengan isakan tangis seorang anak perempuan di hadapan makam ibunya.

Losari merasakan sakit itu, ia memegang dadanya tuk tidak menangis. Memohon kepada siapa saja yang ada untuk membangunkan perempuan itu dari mimpi menyakitkan ini. Suhu badannya bertambah panas, peluh pun berjatuhan tak hentinya.

"Losari kenapa, sih? Perasaan kemaren udah baik-baik aja."

"Gak tau, Den. Bi Asih juga bingung, dari tadi malam, dia ngigau terus manggil-manggil bundanya. Bi Asih udah coba buat bangunin, tapi gak bangun-bangun. Malah sekarang histeris kek gini," jawab Bi Asih.

Novel menggeram kesal sembari melirik benda yang melilit di tangannya. Sudah menunjukkan pukul tujuh pagi.

"Yaudah, deh. Bantuin yak, Bi, bawa dia ke mobil saya. Biar saya anter ke rumah sakit," pinta Novel.

"Den Novel gak akan telat ke sekolahnya?"

Laki-laki dengan tinggi sekitar 170 cm itu mendengkus kesal. "Saya udah terlanjur telat, mending bolos aja. Lagian saya gak mau kena semprot dari Mami gara-gara cewek ini."

Bi Asih paham bagaimana hubungan antara Novel dan Losari yang tidak pernah akur. Tetapi, ia cukup kagum melihat Novel. Sebenci-bencinya laki-laki itu pada Losari, ia selalu saja melakukan apa pun agar perempuan itu selalu baik-baik saja. Walau tak pernah peka untuk menjaga perasaan.

Mobil berwarna hitam melaju dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit. Bi Asih yang duduk di jok belakang sedari tadi hanya dapat melafazkan doa agar selamat sampai tujuan. Laki-laki itu benar-benar kehilangan akal sehat mengemudikan mobil.

Sesampainya di rumah sakit, Losari langsung diberi penanganan khusus. Novel dan Bi Asih menunggu di luar ruangan. Harap-harap cemas dari keduanya.

"Den Novel biar ke sekolah aja, biar Bi Asih yang nungguin Losari."

"Gak usah, Bi Asih aja yang pulang. Saya bisa jaga Losari sendiri," ucap Novel.

Bi Asih hanya diam, tidak juga ingin pulang.

Akhirnya keheningan melanda di antara mereka. Hanya suara-suara yang sesekali terdengar saat orang-orang berlalu lalang di lorong rumah sakit. Juga getaran ponsel Novel yang hampir setiap menit mengganggu konsentrasi laki-laki itu. Nama Manda terpampang di layar.

"Halo?" sahut Novel saat benda pipih telah ia tempelkan pada telinganya.

"Kamu kok gak masuk? Sakit? Aku jengukin, ya."

"Aku baik-baik aja, kok. Aku emang lagi di rumah sakit, tapi lagi jagain Losari."

"Losari? Si Cewek bangs ... eh, lucu itu? Dia kenapa?"

"Demam tinggi. Dari semalam ngigau mulu."

"Astaga, kasian banget. Setelah pulang sekolah aku ke sana, ya? Aku mau liat kondisi dia. Boleh, kan?"

NOVELOSARI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang