Fragmen|6

478 121 22
                                    

"Lu tiga hari aja gak masuk rasanya bertahun-tahun tau, gak, Ri? Sepi nih sekolah."

Losari hanya dapat tertawa mendengar penuturan dari Aldi. Memang benar sih, kalau Losari gak masuk, siapa lagi yang mau ramein sekolah? Khususnya ruang BK.

"Heran aja sih, cewek strong kek lu bisa tepar juga, yak," sahut Maria. Mulutnya mungkin nyerocos ke arah Losari, tetapi mata fokus pada cermin di depan wajahnya.

"Gue juga manusia, Anjir!"

Kali ini, Aldi dan Maria tertawa melihat wajah kesal dari Losari. Tempat persembunyian mereka, yaitu belakang kantin terlihat lebih hidup dengan kehadiran mereka bertiga.

"Tapi, gue masih penasaran. Siapa sih yang berani-beraninya ngunciin berandal kek lu di dalam toilet?" sahut Aldi yang langsung mendapat tatapan tajam dari Losari.

"Pokoknya, mulai hari itu, orang yang ngunciin gue di dalam toilet udah mengibarkan bendera peperangan. Dia belum tau aja siapa gue," ucap Losari, angkuh.

"Ngeri gue, Anjir!" sahut Maria.

"Udah, ah, kantin, yuk! Hari ini gue traktir lu coki-coki!" ajak Aldi.

"Gak modal banget sih jadi cowok, pantes jomlo!" cibir Maria sembari berdiri mengikuti Losari yang sudah berjalan duluan menuju kantin.

"Eh, kampret! Gue jomlo-jomlo gini tapi pilih-pilih, ya!"

'Jomlo pilih pangkat dua. Pilih pertama, gue milih dia. Pilih kedua, dia milih orang lain. Sesederhana itu nasib jomlo.'

****

Ada sedikit penyesalan yang datang menyebrang. Losari merapikan rambut ikalnya, lalu bersikap biasa saja melewati meja dua anak Adam yang asik bercanda gurau. Mungkin bagi beberapa orang yang melihatnya, tidak ada yang spesial. Sederhana, tetapi menyakitkan. Sempat, tatapan mereka bertubrukan. Sampai pada akhirnya Novel menarik kedua bola matanya dan memilih memandang Manda. Embusan napas yang dilakukan Losari semata-mata untuk meringankan rasa sesak di dalam dadanya.

"Lu baik-baik aja, kan, Ri?" tanya Aldi yang kini duduk di hadapan Losari. Laki-laki itu tau apa yang Losari lihat sedari tadi. Kontan, ia mengikuti arah pandang perempuan itu. "Kalau nyessek, jangan diliatin."

"Maria mana?" tanya Losari. Aldi sudah menghapal gerak-gerik Losari yang akan selalu mengalihkan pembicaraan di saat dia mencoba menutupi kesedihannya.

'Sampai kapan sih, lu harus pura-pura bahagia seperti ini? Emang gak capek, apa? Gue sebagai penonton aja capek.' batin Aldi.

"Katanya ada urusan PMR gitu, Ri."

"Oh, yaudah. Gue aja yah yang ditraktir coki-cokinya."

Aldi tersenyum. "Oke, gue beliin satu toples spesial buat lu, Ri. Kebetulan gue abis dapat duit hasil kirim tulisan ke media cetak."

Ya, Aldi memang senang menulis. Karena hidupnya tak sesempurna anak-anak lain yang masih bisa membiayai kebutuhan melalui orang tua, Aldi melakukannya sendiri. Semenjak orang tuanya berpisah, Aldi memilih untuk mandiri. Bekerja menjadi kernet dan mengirim tulisan ke beberapa media cetak. Lumayan cukup.

"Lu mau bikin gigi gue ompong, gitu? Ya, kali! Coki-cokinya dua aja, deh. Lagian lu kan harus nabung."

Selalu ada rasa kagum yang hadir di setiap kata yang diucapkan Losari. Itu yang Aldi rasakan. Sekampret-kampret perempuan itu menurutnya, tetapi selalu ada hal baik yang sulit orang-orang lihat. Dan Aldi dapat melihat itu.

NOVELOSARI Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang