[20] dua puluh

20.7K 1.6K 507
                                    


Ternyata untuk yang sekarang kata terlambat sangat cocok ditujukan pada Jungkook karena gagal menghentikan harapan terakhirnya. Sudah dua puluh menit berlalu, pesawat terbang ke Roma hari ini lepas landas meninggalkan Incheon. Betapa gilanya lelaki Jeon itu karena tidak berhasil. Sudah berusaha untuk mendapatkan kembali cintanya. Namun dunia seakan tidak mengizinkan.

Inilah akhirnya. Kenyataan pahit yang harus Jungkook terima walau dirinya tidak ingin.

Namun, keinginan untuk bisa menyusul gadis itu ke Roma sangat besar. Jungkook tahu diri akan kondisinya. Kaki yang hampir lumpuh atau mungkin selamanya akan menjadi pria lumpuh. Jungkook tahu ia sudah melewatkan operasi penting hari ini hanya demi mengejar Eunha di bandara. Ini salahnya, memang salahnya.

"Sudah lima belas menit yang lalu lepas landas. Kita terlambat." Seru Seokjin sambil mengatur napasnya karena terengah.

Perjalanan yang tidak dekat dari bukit pemakaman ke bandara Incheon, seharusnya sudah sangat jelas tidak akan ada keberhasilan untuk menghentikan seorang penumpang, terlebih menghentikan jam penerbangan.

Jungkook kecewa, kehilangan arah dan terlampau sakit dibagian hatinya.

"Dokter Zian telah meninggalkan rumah sakit lima menit yang lalu. Sudah terlambat untuk mengejar kepergiannya." Kali ini Hoseok tidak bisa memihak kepada siapapun untuk disalahkan. Pertama kalinya Hoseok berada dalam keadaan seperti ini. Dia tidak berniat menyalahkan dokter Zian karena sulitnya mendapatkan operasi dari orang itu. Dan Hoseok juga tidak bisa kesal kepada Jungkook yang telah menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Mungkin lebih kepada rasa kecewanya karena hari ini termasuk hari yang menyebalkan.

"Pasti ada cara lain untuk penyembuhan kaki Jungkook. Kau sebagai dokter pasti punya langkah lain untuk penanganannya, bukan?" Seokjin agak takut jika kelumpuhan benar-benar menghampiri Jungkook. Sebagai teman tentu Seokjin menginginkan yang terbaik. Tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Jungkook jika harus mengalami kelumpuhan pada kaki.

"Aku pikir kami bisa berjalan jauh bersama jika saling jatuh cinta. Sudah tidak ada jalan bagiku untuk kembali mempertahankannya." Jungkook jatuh dalam diam. Mengetuk pintu kekhawatiran di hati dua teman baik. Sekarang tidak ada yang bisa dilakukan selain menerima takdirnya. "Aku sudah mencintainya. Bahkan sejak aku membencinya. Maaf untuk semua luka yang sudah aku berikan." Isak tangis akan penyesalan benar-benar tercipta.

Salah paham hingga berujung pada penderitaan. Ya, Jungkook sekarang tahu rasa sakit yang Eunha alami. Rasa sakit dari luka-luka yang pernah dia tanamkan pada tubuh gadis itu. Ia pantas mendapatkannya. Jikalau memang harus mati agar bisa menebus dosanya kepada Eunha. Maka Jungkook akan dengan senang hati menghantarkan nyawanya sendiri pada Sang Maut.

Jeon Jungkook, sebenarnya apa yang dipikirkan selama ini sampai tega membuat gadis sebaik Eunha hidup dalam penderitaan?

"Bagaimanapun, kau tetap harus ke rumah sakit. Kita pikirkan penyembuhan kakimu setelah ini. Ayo, Kook."

"Hoseokie, bagaimana kalau kau beri aku suntik racun agar aku juga lenyap dari dunia ini? Semua keluargaku telah tiada. Eunha juga sudah pergi. Aku tidak bisa lagi bertahan. Aku lebih baik mati dari pada hidup pada penyesalan."

Hoseok tidak merespon kalimat itu. Dia terlalu rapuh untuk tidak menangis. Air matanya membanjiri wajah tampan dokter itu. Hoseok benar-benar sama terlukanya harus melihat sahabat baik hancur seperti ini.

"Jungkook, jika kau tidak bisa hidup dalam penyesalanmu. Itu artinya kau belum pantas untuk dimaafkan. Berjuanglah sekali lagi. Kali ini, dekati dia dengan cinta. Bukan dendam." Seokjin yang bicara. Menerapkan satu motto untuk bertahan dari sebuah penderitaan. Ketika hendak mencapai suatu kebahagiaan, harus ada pengorbanan yang pantas untuk bisa mendapatkan kebahagiaan itu sendiri. Seokjin hanya ingin, Jungkook bisa membuktikan kesungguhannya.

He Is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang