[3] tiga

15.3K 1.6K 234
                                    


"Akhir pekan ini ibumu menyuruh datang ke rumah untuk makan malam. Jangan biarkan mereka tahu kalau kau ku lukai sampai menyedihkan begini. Mengerti?" Jeon baru selesai dengan cambuknya. Sebuah rotan kecil yang dijalin menjadi alat untuk memukul. Senjata Jeon dari laci meja. Disimpan rapi disana. Hanya akan diambil ketika amarah Jeon bangkit. Sayangnya, amarah itu selalu bangkit setiap malam.

Tadinya sudah menahan diri untuk tidak memberi luka apapun pada sang istri. Pertemuan makan malam akhir pekan ini menghantui pikiran. Tetapi Jeon sulit menahan jika satu malam saja tidak memberi gadis Lee itu pelajaran. Siksanya sudah seperti hobi baru. Lee Eunha pembalasan dendam yang mampu membuatnya puas.

Tubuh mungil Eunha meringkuk diatas karpet beluderu depan televisi di ruang tengah. Punggung yang dilapisi piyama terasa pedih. Panas menjalar sebagaimana becutan dari cambuk Jeon menghantamnya tadi.

Jeon baru selesai saat waktu menunjukkan pukul sebelas malam. Ia masih ada beberapa pekerjaan yang harus diurus dalam ruang kerjanya. Meninggalkan istri kurang berguna itu sendirian dengan isak pilu merintih merasa sakit tak bisa ditahan.

Gagal untuk bisa berdiri. Eunha bergerak menuju kamar menggunakan pantatnya. Tenaga itu habis dimakan tangis. Menggapai satu persatu anak tangga dengan cara seperti orang cacat lumpuh. Nyatanya, ia bahkan tidak punya riwayat penyakit apapun. Hanya hatinya yang sakit. Disakiti oleh cara Jeon yang kejam.

Berhasil sampai kamar. Pintu itu ditutup perlahan. Ada jerit tak terlalu kuat menggema di ruang kedap suara itu. Eunha bersujud dengan tubuh lebam. Ia tidak tahu alasan mengapa Jeon kejam padanya. Ia tidak bisa berbuat apa-apa karena Jeon adalah cintanya. Sebodoh ini cinta yang hanya memberinya luka.

Eunha menyesal jatuh cinta lagi jika tahu sakitnya melebihi luka apapun.

"Aku bisa saja mati. Tapi aku tidak akan mati hanya karena mencintaimu, kan?" Tangkisan tangan itu menyeka air matanya. Berharap tak ada lagi butiran bening yang jatuh di wajah. Bahkan untuk menangispun Eunha sudah lelah.

Gadis itu tidak bisa naik ke atas ranjang dengan kondisi tubuh lemas. Malam ini, Eunha memutuskan tidur beralas lantai. Menerima hawa dingin yang menusuk ke tulang. Musim dingin hampir datang, hal tersebut semakin membuat cuaca malam terasa membeku. Ya, sebeku hatinya Jeon sekarang.

• • •

Pagi harinya, Eunha baru terjaga pukul tujuh lewat tiga puluh menit. Sudah terlalu lambat jika dirinya harus membuat sarapan untuk suaminya. Semalaman tidur tanpa berselimut. Tubuh itu jadi menggigil. Berdiri secara perlahan. Hampir oleng jika tidak menahan tangannya pada pinggiran ranjang. Eunha ingin mandi. Setidaknya ia harus bersih-bersih agar Jeon tidak semakin benci padanya.

Langit diluar nampak mendung. Pandangan Eunha melirik sejenak ke arah jendela. Seperti akan turun hujan jika memang matahari tak kunjung menampakkan diri. Dan ternyata dugaannya benar. Selesai membersihkan diri, hujan turun. Derasnya sampai membuat suara bising. Ada senyum yang hadir. Eunha merasa ia tidak lagi kesepian. Suara rintik hujan menemani harinya yang suram ditinggal pergi sendirian.

Menatap punggung telanjangnya pada cermin. Lebam warna merah kebiruan itu tanda yang mengerikan. Bukan hanya satu, ada lebih dari lima. Semalam Jeon membecutnya hampir sepuluh kali secara kuat. Eunha yakin ada cambukan pada tempat yang sama dibeberapa tanda.

Perutnya mulai lapar. Andai ada orang di rumah selain dirinya. Eunha ingin sekali meminta tolong. Tenaganya masih belum cukup jika harus membuat sarapan. Eunha tahu jalan terbaik adalah memesan lewat delivery.

Sebuah sup kentang dengan beberapa isian menjadi menu yang Eunha pilih. Sambil menunggu, dirinya berusaha menarik napas lalu dihembuskan perlahan. Begitu berulang kali untuk mengontrol tubuhnya yang sedang diguncang kesakitan luar biasa dari becutan rotan semalam.

He Is My HusbandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang