08. The Broken Things

4.6K 490 249
                                    


Prolog

Banyak yang penasaran, berapa sih usia Arganta? Uum, jadi gini . . . .eh, Ridho Roma katanya ketangkep polisi ya?

Okay, udah ya! Buahaha.

Well, di bagian kedelapan ini gue lagi seneng-senengnya baca-baca quote, jadi kalau gue mengutip banyak quote di chap 8 ini, maklumi saja. Happy reading!

Sebagai penulis, wajar memiliki karakter kesayangan, tapi bukan berarti karakter kesayangannya dimanja. Tuhan aja nggak ngemanjain manusia yang jelas-jelas makluk kesayanganNya, jadi please, gue nggak pernah pilih kasih, atau kalau pilih kasih ya dikit doang. -,-

***

Penulis Gayle Forman, dalam salah satu bukunya pernah menulis, 'Sometimes you make choices in life, and sometimes choices make you'. Aku dibesarkan dalam keluarga yang, kalau aku tidak mau bilang kolot, maka bisa diibaratkan konservatif. Ayah dari sejak aku kecil selalu menerapkan standar, bahwa lelaki harus seperti ini, tidak boleh begini, tidak boleh begitu. Tidak ada yang salah dengan masa kecilku. Aku bisa bermain bola, walaupun aku akan memilih menjadi penjaga gawang karena malas lari kesana-kemari mengejar bola. Namun, seberapa pun aku berusaha menjadi lelaki, tepat seperti standar ayah, selalu ada yang kurang di mata beliau. Aku masih terlalu klemar-klemer, kurang tegas, kurang 'lelaki', menjadikanku kadang bingung, standar 'lelaki' itu yang bagaimana?

Bunda berbeda. Menurut Bunda, aku harus menjadi diriku sendiri, nyaman dengan apa yang aku lakukan. Namun, Bunda bukanlah kepala keluarga. Aku harus menganut patokan yang ayah ultimatumkan. Barometer seorang lelaki harus bersikap mesti selurus dan sesuai menurut pandangan mata ayah.

Jadi beginilah aku sekarang tumbuh. Takut untuk jujur atau menyuarakan pendapat karena takut aku akan mendapat hardikan, seperti dulu ayah yang akan menghardikku jika aku membuat suatu kesalahan. Bunda membuatku belajar dari kesalahan. Ayah tidak bisa mentolerir dan menghukum kesalahan.

"Bar, lo ntar malam mau ikut?" Arfan, salah satu rekan kerjaku, yang sekarang sedang mengaduk kopinya disampingku. Menepuk pundakku dan membawaku kembali ke alam sadar. Saat ini, berada di pantry kantor.

"Memang ada acara apa?" Aku meletakkan sendok kecil yang tadi aku pakai untuk mengaduk teh.

"Anak-anak mau karoke, perpisahan untuk Arifah. Dia kan terakhir disini." Jika beberapa perusahaan mengadakan acara makan malam perpisahan untuk karyawan mereka yang akan mengundurkan diri, maka di kantorku acara tersebut tidak ada. Buang-buang duit kalau kata atasanku.

Jadi, biasanya anak-anak akan menggunakan uang pribadi mereka, jika, mereka lumayan memiliki banyak teman di kantor. Aku, jika mengundurkan diri, sepertinya tidak akan repot-repot membuang banyak uang untuk mengadakan acara perpisahan. "Ikut kan, lo, Bar? Lo kan jarang ikut acara di luar kantor."

Aku menimbang-nimbang sebentar. Aku dan Arifah saling kenal, beberapa kali mengobrol, namun tidak begitu dekat. "Oke deh." Namun tidak ada salahnya aku mulai menambah teman baru dan memperluas pergaulanku.

"Sip. Ntar bareng gue aja!" Aku mengangguk.

Aku kembali ke meja kerjaku, mengamati Amir, teman dekatku yang tumben-tumbenan terlihat begitu serius menatap layar komputernya. Semenjak mantan atasannya resign, dan Amir mendapat atasan baru, temanku itu kadar kesibukannya meningkat. Dia pernah mengeluh, namun aku mengingatkannya bahwa selama masih menjadi budak korporat, memilih atasan yang sesuai dengan karakter kita adalah kemewahan yang kemahalan. Tidak peduli serajin apa pun menabung di masa lalu, jika bukan termasuk salah satu anggota keluarga klan pemilik perusahaan atau penanam saham terbesar, maka hak untuk memilih unit kerja, dan atasan ideal hanyalah mimpi di siang bolong. Diterima kerja saja sudah mengucap syukur.

AMOR MANET (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang