05. The Ties That Bind

5.3K 492 191
                                    



Prolog

Guys, gue gonti-ganti pov secara cepat karena gue merasa bakal lebih dapet feelnya kalau sudut pandang orang itu yang berbicara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Guys, gue gonti-ganti pov secara cepat karena gue merasa bakal lebih dapet feelnya kalau sudut pandang orang itu yang berbicara. Plus, beberapa penulis favorit gue mulai melakukan itu, so, why I am not? Kalaupun masih ada celah dan nggak enak dibaca ya mungkin karena gue masih harus belajar. Dan belajar itu prosesnya dengan sering dipraktekkan, betul? Thank you, semoga kalian menikmati Amor Manet ini.

***

Gue mengamati Haris yang sedang sibuk bermain bersama Arganta. Gue pengen gabung, tapi kemudian urung. Perasaan merasa nggak pantas untuk memiliki Haris ini sudah membayang-bayang di otak gue sehabis pulang dari outbound kemarin. Serius, pertemuan kembali dengan Akbar membuat gue makin nggak yakin kalau gue hanya sekedar suka. Haris melihat gue, lalu tersenyum. Gue balas tersenyum, sambil mengirimkan cium jauh. Haris menanggapinya dengan tertawa, lalu larut kembali bersama Arganta. Keponakan gue itu memang nggak bisa diem, maunya gerak mulu, dan Haris sepertinya menikmati moment bersama Arganta.

Gue melangkah keluar dari kamar Arganta, menimang-nimang sebentar sebelum akhirnya melongokkan kepala gue kedalam kamar Abednego. Adik jutek gue itu sedang dalam posisi tiduran telungkup diatas kasur, didepannya ada buku paket besar, laptop, dan juga camilan yang dihampar begitu saja. Dia beberapa kali menstabilo buku paketnya, kemudian mengetik di laptopnya, selanjutnya mengemil sebentar. Ritme itu Abednego lakukan dengan teratur.

"Si Kunyuk nggak ada?" Tanya gue sebelum masuk.

Abednego nggak merepotkan diri dengan menoleh, dia masih sibuk dengan aktifitasnya. "Namanya Denny, bukan kunyuk. Dan dia sedang ada kegiatan di kampusnya."

Oo, gue pun masuk kedalam kamar Abednego, lalu mengunci pintu. Kamar Abed sudah sedikit berubah ketimbang terakhir kali gue masuk kesini. Ada beberapa foto Abed dan Denny yang terpampang di meja belajar Abed. Poster One Piece baru, juga cover bed baru bermotif Killua dan Gon, dan Hisoka. Oh, koleksi sepatunya bertambah beberapa pasang. Yang bisa mengalahkan koleksi sepatunya Abednego di keluarga Dirga hanya Mama dan Koh Daniel, serius gue nggak tahu kenapa mereka bertiga bisa begitu menggilai sepatu. Koh Daniel setahu gue punya lemari khusus untuk menyimpan sepatu-sepatunya, mama juga. Walaupun Abed nggak punya lemari khusus juga, tapi well, bentar gue itung, dua puluh satu pasang sepatu, itu sudah bisa disebut koleksi kan?

Gue langsung merebahkan diri di tubuh Abed, menggunakan punggungnya sebagai bantal. "Kangen gue, Nyo."

"Lo tahu nggak, Koh, kalau berat badan lo tuh hampir satu kwintal?" Enak saja, gue masih 78 kg kali. Tapi gue nggak menggubris ucapan nggak nyambung Abed itu.

"Gue lagi pusing."

"Coli aja, biasanya bisa meredakan pusing."

"Mau nyoliin?"

AMOR MANET (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang