06. Growing Pains

5.1K 480 205
                                    



Prolog

Jadi, kenapa gue nggak pakai view-nya Haris di chapter sebelumnya? Karena dia pasti bakal ngomong sunda sama kedua orang tuanya. Dan oh em ji, gue kan nggak bisa bahasa sunda. Jadi, daripada kaku, ya gue lebih memilih untuk menghindari memakai sudut pandang Haris. Buahaha. Dan gue selalu nge wa temen gue kalau ada yang harus banget pakai bahasa sunda, meaning kalau ada bahasa sunda yang nggak luwes, salahkan temen gue! Dan ada beberapa orang yang nanya ke gue kemarin, 'Kakak benci Akbar ya? Kok dia menderita melulu?' What? No! Gue nggak benci Akbar, seriously. Tapi dalam nulis cerita, gue harus konsisten dong, supaya tetap di jalurnya. Dan hingga part enam, Amor Manet ini masih sesuai rencana. Selamat membaca ya.

Tambahan note, kalau kalian merasa ada yang terpotong atau kurang lengkap, ada baiknya wattpadnya di refresh dulu. Kadang suka error.

*Kemarin mulmednya Haris shirtless, sekarang Akbar shirtless*

*Kemarin mulmednya Haris shirtless, sekarang Akbar shirtless*

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

'You know you're in love when you can't fall asleep because reality is finally better than your dreams'. Itu caption yang ditulis Jordan dalam postingan terakhirnya di instagram. Fotonya adalah dua tangan yang bergandengan erat dengan latar belakang sunset. Aku tahu dua tangan itu milik siapa, dan seharusnya tidak pada tempatnya aku cemburu dengan dua gelang yang persis sama yang menempel pada pergelangan tangan didalam foto. Postingan Jordan ini di upload sekitar lima hari yang lalu, dan Jordan belum mengunggah sesuatu yang baru di instagramnya. Untuk apa, Bar, dia main di dunia maya, kalau reality hidupnya jauh lebih indah? Sinisku. Lebih kepada diri sendiri.

"Lo nggak suka batik songketnya?"

Eh.

"Tahu gitu gue kasih empek-empek aja."

Aku lupa ada Beni. Aku mengangkat kepalaku dari smartphone, mematikan layarnya, lalu kembali fokus ke Beni. "Sorry Ben, ada email penting dari atasan tadi." Jawabku sambil merebut kembali batik songket, oleh-oleh Beni dari Palembang. Sepertinya berbohong menjadi salah satu bakat naturalku sekarang. "Apa yang sudah dikasih nggak boleh diminta lagi, Ben."

Beni hanya cengengesan. "Temenin gue bentar, mau? Bentar lagi bokap lo pulang kan? Mending lo pergi bareng gue."

"Kemana?"

"Udah ikut aja."

Sebenarnya aku mau menolak, namun jika diingat-ingat bahwa ayah masih saja bersikap antipati terhadapku, mungkin ajakan Beni bisa menjadi alternatif lain untuk menghabiskan malam Kamis sore yang mulai mendung ini, daripada harus berdiam diri di kamar, dengan latar belakang suara ayah yang mulai menyerangku dengan kata-kata sindiran. "Aku ganti baju dulu."

AMOR MANET (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang