Mencari Jawaban Tersembunyi

89 16 7
                                    

Aku terus mempertanyakan mengapa Herza benci dengan seseorang yang bernama Helen, meski Helen yang dimaksud belum tentu adalah aku.

Rasa ingin tahu ini menggebu-gebu, pikiran ini memaksaku untuk mencari cara bagaimana mendapat jawaban yang ku rasa sulit untuk diungkap.

Lepas dari masalah tersebut, Caca mengajakku untuk ikut bersamanya melihat ekskul seni musik sepulang sekolah.

"Lo hari ini sibuk?" Tanya Caca sembari merapihkan buku dan memasukannya ke dalam tas.

"Nggak, kenapa?" Jawabku.

"Pulang bareng ya, tapi gue ekskul dulu," ucap Caca dengan mudah.

"Nggak! Gue bisa garing nunggu lo nyanyi-nyanyi sampai jam ekskul lo berakhir," jawabku dengan tegas.

"Lebay lo, banyak cogan kok. Lo bakal betah," Caca menarik tanganku.

Dengan amat terpaksa, aku menuruti permintaan Caca. Untungnya, siswa yang tidak mengikuti seni musik diperbolehkan masuk ke ruang seni musik dan melihat jalannya ekskul dengan syarat dilarang mengganggu ketika ekskul tersebut berlangsung.

"Helen, Kenapa ada di sini?" Kak Alvin yang baru masuk ke ruang seni musik tiba-tiba menghampiriku.

"Ee...itu kak," aku tidak mampu berkata dengan jelas ketika rupa kak Alvin yang menagih untuk dipandang itu hadir di depanku.

"Kenapa? Gugup banget," tanya kak Alvin dengan heran.

"Lagi nunggu temen ekskul seni musik," aku berusaha tenang.

"Ooh, semoga betah nunggunya," kak Alvin menepuk pundakku dua kali dan meninggalkanku menuju barisan paduan suara.

Tepukan itu masih terekam pekat dalam pikiranku. Sepertinya aku tidak akan bosan menunggu Caca sampai ekskul selesai, karena sambil menunggu Caca, aku dapat memandang kak Alvin dengan puas.

"Untung aja lo satu ekskul dengan cogan satu itu, Ca. Jadi betah nunggu," gumamku dalam hati.

Selesai ekskul seni musik, aku dan Caca pulang bersama.

"Kuat juga lo nunggu dua jam, haha," kata Caca sambil menyebrang jalan untuk menunggu angkutan umum.

"Iya, untungnya ada Cogan. Gak akan bosen deh," jawabku.

"Hati-hati, nanti lo bisa suka sama kak Alvin yang famous itu. Saingan banyak, cuy," Caca mulai meledekku.

"Gak mungkin, gue masih belum bisa move on dari Ozan, Ca," aku menatap Caca.

Kenangan yang telah dibuat Ozan amat indah untuk ku ingat dan sulit untuk dilupakan. Senyumnya, tutur katanya, bahkan candanya masih terukir jelas dalam memori otakku. Aku pikir tidak akan ada orang yang bisa seperti Ozan.

Tidak lama aku menginjakkan kaki di rumah, tiba-tiba ada seseorang yang tak kukenal bertamu ke rumahku.

"Boleh bicara dengan Helen?" Katanya dengan nada ragu.

"Ya, Saya sendiri," jawabku yang masih terheran-heran siapa perempuan cantik berambut pirang ini.

"Maaf, saya tidak menanyakan apa status kau, sendiri atau sudah dimiliki orang. Saya hanya ingin bertemu dengan Helen," katanya.

"Maksudnya, saya ini Helen," aku menekankan perkataan tadi.

"Oh, ini saya punya titipan beberapa bulan yang lalu. Maaf sebelumnya, saya baru bisa sampaikan ini," perempuan tersebut memberikanku selembar surat.

"Apa ini?" Aku menerima surat yang diberikan perempuan misterius itu.

"Apa ini?" Aku menerima surat yang diberikan perempuan misterius itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Titipan dari Ozan sebelum ia meninggalkan kita. Dan ada satu lagi, ini untuk Herza. Aku tidak mendapatkan info tentang keberadaan Herza sekarang. Apa kau mengenalnya? Dia sahabat Ozan dulu," ia menunjukkan sebuah surat lain kepadaku.

"Herza? Saya punya teman sekelas bernama Herza. Mungkin itu orang yang kau maksud. Tapi Ozan tidak pernah mengenaliku tentang Herza adalah sahabatnya," jelasku.

"Oh Ya? Kenapa ya dia tidak pernah cerita? Herza sahabat Ozan ini berambut berantakan tapi ia cukup memiliki paras yang tampan. Dia tinggi, suaranya berat dan berkumis tipis," dia menjelaskan ciri-ciri yang dimiliki Herza.

"Sepertinya itu benar teman sekelasku. Biar saya tulis saja alamatnya dan kau temui dia langsung," kataku.

"Baiklah, tulis di sini," ia mengambil kertas dalam tas kecilnya dan memberikannya kepadaku.

Keesokan harinya, aku menceritakan hal tersebut kepada Caca.

"Lo tau siapa nama perempuan itu?" Tanya Caca yang kepo maksimal.

"Nggak, bodohnya gue gak sempet tanya siapa namanya," aku menyenderkan badan ke kursi.

"Seharusnya lo tanya, terus dia akan ketemu Herza hari ini?"

"Sepertinya iya, Ca. kita lihat aja saat jam pulang sekolah di depan gerbang utama,"

Tanpa kuduga, Herza tiba-tiba masuk ke dalam kelas dengan membawa amplop coklat mirip seperti amplop yang ku terima kemarin. Aku mulai penasaran, apakah perempuan misterius yang kemarin menghampiriku telah memberikan surat itu kepada Herza? Tapi mengapa ia memberikannya sebelum jam pulang sekolah?

Aku menepuk pundak Caca dengan spontan, mata ku tertuju pada Herza dari mulai ia masuk ke dalam kelas sampai duduk di kursinya kemudian meletakkan surat itu di laci mejanya.

"CA!!! ITU KAYAKNYA SURAT YANG DIBERI PEREMPUAN ITU UNTUK HERZA DEH," aku semakin penasaran dan berambis untuk mengetahui kebenarannya.

"Yaudah, Len. Lo samperin tuh Herza. Lo harus tanya kebenarannya," Caca memberikanku saran yang menurutku mustahil untuk aku lakukan.

"Gue terlalu cupu untuk menghadapi ini," pengakuanku.

Setelah kejadian yang penuh tanda tanya ini, aku kurang fokus dalam belajar. Ditambah materi-materi yang makin lama semakin rumit.

Jangan kalian pikir aku hanya kesulitan dalam fisika! Biologi juga, belum lagi hafalan berbagai nama ilmiah yang baru kutemui. Tapi aku tidak semudah virus menyebar dalam menyerah, aku tetap berusaha, berusaha, dan berusaha.

Jika memahami materi yang masuk dalam peminatan jurusan yang aku ambil saja sudah sulit, bagaimana dengan materi lain yang merupakan materi wajib atau sekedar lintas minat?

Semua berbeda dengan anganku, aku pikir di SMA itu akan banyak waktu luang untuk hang out agar gaul bersama teman-teman. Ternyata tidak, untuk mengerjakan PR atau bahkan sekedar mengulang pelajaran di rumah pun masih kekurangan waktu.

Belum dua minggu aku berada di SMA, aku sudah menempati titik lemah yang dalam.

"Kenapa sih nilai lo jadi turun?" Caca menegurku.

"Banyak pikiran," jawabku dengan lesuh.

"Sok sibuk! Baru SMA aja udah lemah, bagaimana nanti kalau lo kerja? Mau jadi pengangguran?" Aku yakin niat Caca baik demi memberikanku semangat, hanya saja bagiku caranya salah dengan memberikanku kalimat sindiran.

"Udah lah, gue cuma butuh ketenangan, lo gak bakal tau apa-apa tentang hal yang gue alami sekarang," aku membela diri.

"Gue sahabat lo, Len. Bahkan lo lagi down aja gue ngertiin, gue ingin lo balik ke Helen yang ceria. Sekarang apa yang paling membebani lo? Lo masih mikirin tentang surat dari perempuan itu?" Caca kelihatan semakin geram denganku.

"Gue baca aja belum, Ca. Baru sempet buka," jawabku.

"Apa karena Herza? Lo mau minta semua penjelasan kan dari mulai benarkah Herza sahabat Ozan sampai kenapa Herza ngebenci lo? Dan kenapa Ozan cuma kasih surat itu untuk lo dan Herza?" Pertanyaan Caca melebihi kapasitas.

"Iya, lo benar," aku merengguk.

"Lo harus ikut gue ke cafe belakang sekolah hari Minggu," Caca membuatku bingung mengapa harus pergi ke Cafe.

"Mau apa? Lebih baik gue mager-mageran di kasur selagi minggu itu hari libur,"

"Gak usah banyak tanya. Ikut aja,"

"Oke," akhirnya, aku mengikuti permintaan Caca.

Hari Minggu telah tiba, aku dan Caca pergi bersama menuju Cafe belakang sekolah. Awalnya aku tidak berpikiran aneh-aneh tentang Caca, tapi kemudian aku melihat Herza duduk di bangku nomor 07 yang membuatku berpikiran aneh.

"Apa Caca sengaja mengundang Herza untuk bertemu denganku dan memberikan semua penjelasan?" Gumamku dalam hati.

SHSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang