Tentang hujan

36 4 1
                                    

Januari selalu saja seperti ini, hujan tanpa melihat keadaan. Terkadang menyenangkan, tapi juga menyebalkan. Aku jadi tidak bisa pulang dan harus menunggu agar hujanya reda dulu.

Sejak tadi aku hanya bersandar di tembok sembari melihat Fafa bermain hujan-hujanan dengan Erin, Fafa selalu saja memaksaku untuk bergabung, tapi aku tidak bisa, aku hanya punya satu pasang sepatu, kalau aku bermain hujan, besok aku menggunakan sepatu apa?

Entahlah, aku merasa hujan selalu menahanku saat aku sedang ingin cepat pulang. Aku bosan. Andai saja sekarang ada Att, mungkin aku tidak akan sebosan ini.

Kenapa jadi Att, sih.

"Ya dilepas aja sepatunya"

Aku menoleh kebelakang melihatnya berdiri dan bersandar juga ditembok dengan tangan yang dia masukan kedalam saku celananya.

"Attfaros... " aku berkata lirih saat tau bahwa seseorang yang sedang aku pikirkan ada dibelakangku.

"Adyna... " ucapnya dibuat-buat untuk menirukan nadaku.

"Sejak kapan berdiri disitu? " ucapku tanpa melihatnya.

"Kalau kamu bosan kenapa nggak memberitahuku kamu masih ada di sekolah?"

Huh. Aneh.

"Kalau aku tanya itu di jawab, sejak kapan berdiri disitu? "

"Tadi" jawabnya singkat. Aku merasa Att juga duduk disampingku, menekuk lututnya dan membenamkan wajahnya.

"Kapan?"

"Nghh, jangan banyak tanya, aku itu lagi marah"

"Yee marah kok bilang-bilang. Aneh"

Aku memutar bola mata malas, ternyata ada ya orang seperti dia?
"Salah kamu kenapa nggak kasih tau kamu masih di sekolah,"

"Yaa kamunya ga nanya".

Hening.
Aku menoleh kebelakang saat Att sudah tidak menjawab pertanyaanku.
Dia yang tau aku sedang menatapnya langsung membuang muka seakan memberitahuku bahwa sang empunya wajah tidak ingin melihatku.

"Att? Kenapa?"
"Marah"
"Huftt, ya sudah" lagipula untuk apa aku memberitahunya, aku kan juga marah dengannya kemarin, aku kembali melihat kedepan, semakin lama hujannya semakin deras, padahal sudah jam 15.30.

"Din, pinjem jaket"

Lucu sekali dia, mana Att yang baru saja berkata bahwa dia sedang marah? Secepat itukah dia mengalah untuk angin?

"Katanya marah"
"Mungkin angin nggak mau lihat aku lama-lama marah sama Adyna, makanya dia buat aku kedinginan agar aku punya alasan untuk meminjam jaketmu"

"Hah? Apa?"

Att menggelengkan kepalanya "Engga, lupakan"

Aku menahan tawa melihat Att merasa jengkel karena kata-katanya tidak kuindahkan. Ku melepas jaket putih yang melilit di bahuku.

"Nih.." Aku menyampirkan jaketku di tubuh Att yang sedang meringkuk itu. Meskipun tubuh Att itu terlihat kecil, tetap saja jaketku tidak cukup walau hanya untuk menutup punggung dan tangannya.

Att mendongak dan menatapku, dia tersenyum, aku pun membalas senyumnya.

Att tidak berusaha untuk mengajakku berbicara, begitupun dengan aku. Ya inilah kami saat sedang berdua, hanya berdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing, kadang aku bertanya-tanya pada diriku sendiri tentang apa yang sedang Att pikirkan, tapi tidak pernah ada jawabannya.

Kelihatannya memang tidak jauh berbeda dengan keadaanku sebelum dia datang, tapi ketahuilah kalau sekarang aku merasa sangat nyaman. Entah karena apa.

"Kenapa kamu takut hujan, Din? Memangnya hujan ngapain kamu?" tanya Att tiba-tiba.

"Tau dari mana?"
"Sudah jawab saja, dari mana pun itu tidak penting"

"Bukankah aku adalah seseorang yang sulit sekali merangkai kata, sehingga membuat orang yang mendengarkan ceritaku tidak pernah memahaminya meskipun aku sudah berulang kali menjelaskannya, kamu yakin tetap mau dengar ceritaku tentang hujan? Aku tidak yakin kamu akan memahaminya"

Aku bisa melihat dari wajahnya kalau Att menahan senyum menyebalkannya.

"Tidak kau ceritakan saja, sebenarnya aku sudah tau" jawab Att mudah.

Aku tak percaya mendengar jawabannya, ingin sekali aku memakinya.

"terus ngapain-!" belum selesai aku bertanya Att sudah menjawabnya.

"Karena aku hanya tidak ingin, Adyna-ku merasa bosan saat berada dekatku, makanya aku ajak kamu bicara. Cepat berceritalah" bujuknya.

"Tapi jangan salahkan aku ya, jika hujannya nggak berhenti karena tau kamu sedang membicarakannya"

"Terserah kamu saja!" jawabku sewot.

"Kenapa ya aku takut hujan? Entah Att, aku juga nggak tau, yang aku rasakan hanya gelisah tanpa sebab. Mungkin bukan hujannya yang menakutkan, tapi karena temannya itu lho"

"Temannya hujan? Petir atau kilat?" tanya Att.

"Keduanya, aku sangat takut dengan keduanya. Dan untuk pertanyaan yang kedua, memangnya hujan ngapain aku? Aku nggak tau, karena memang nggak ada jawabannya"

"Kamu sadar nggak, Din kalau semua our memories itu kebanyakan saat hujan? Nggak lucu kan kalau kamu malah ketakukan saat aku sedang mengenangnya" wajah Att seperti membayangkan sesuatu.

'Iya Att, aku tau itu. Bahkan lebih tau daripada kamu. Kadang aku merasa ketakutan-ketakutan yang mucul waktu aku dekat kamu itu karena kamu itu mengingatkanku tentang hujan, dan baru saja aku sadar lebih dalam lagi, kalau kamu dan hujan itu sama, membuatku takut tanpa alasan yang jelas'

"Hei, kenapa diam? Adyna khansa?"

"Uh..yaa? Maaf maaf Att, aku sedang tidak fokus"

Att mengacak rambutku sayang. "Tapi dengar apa yang aku katakan tadikan? "

"Tentang aku yang malah ketakutan disaat kamu sedang mengenangnya kan?"

Lagi-lagi dia mengacak rambutku, "yahh ternyata kamu nggak denger ya?"

Aku sangat tidak paham dengan apa yang sedang dia bicarakan, memangnya selama itukah aku terdiam sampai aku melewatkan perkataannya?

"Boleh diulang?"
Dia tersenyum untuk kesekian kalinya. "Mungkin memang petir dan kilat itu menyeramkan untukmu, tapi jangan lupa juga jika di lain sisi ada juga yang suka dengan petir ataupun kilat. Aku bahkan tidak bisa membayangkan kalau hujan sendirian, tidak punya teman, bukankah tidak punya teman itu tidak enak, iya kan, Din?"

Aku sampai tidak bisa menjawab perkataanya, bagaimana bisa Att semanis itu, berbeda sekali dengan yang diucapkan mas Danu saat itu. Sangat, sangat berbeda!

"Att salah satunya?"
"Iya, dulu aku sedikit suka dengan petir, tapi sekarang aku sangat suka lhoo" raut wajah Att terlihat sangat bahagia saat mengucapkannya.

"Karena?"
"Karena aku ingin seperti hujan, dia hebat bisa membuat Adyna-ku yang galak dan jutek ini menjadi tunduk dan ketakukan. Hahahahaha" Att tertawa keras, terlihat seperti tidak pernah punya masalah. Bahkan Fafa dan Erin langsung menengok ke arahku karena mendengar suara Att

"Terimakasih, Att tentang hujan" aku tersenyum.
____________________

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 20, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Adyna's DiaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang