3

56 7 5
                                    

"Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu."

|||

"Namaku Kun. Aku diutus untuk mendampingimu."

Ivan kesal setengah mati mengingat pernyataan makhluk kecil itu. Bagaimana tidak? Setelah pernyataan itu, Kun hanya duduk diam di rak meja belajar sambil terus mengawasinya. Memang, sih makhluk itu tak menggangu. Bahkan Kun membantunya belajar.

Tapi tetep aja itu mengesalkan.

Sudah dua hari berlalu namun Kun masih tak mau menjawab pertanyaannya. Ia bahkan tak memberi Ivan petunjuk jawaban sama sekali. Lagipula pertanyaannya sederhana.

'Apa maksudmu mendampingiku?'

Hanya itu. Tapi Kun menolak menjawabnya. Sisanya Kun selalu mengikutinya kemana pun. Seperti sekarang ini.

"Hei, kau melamun terus. Tidak belajar?"

Tanpa beban Kun bersantai di kusen jendela, tepat di samping kepala Ivan jika pemuda itu duduk dengan tegak. Sedangkan saat ini Ivan tengah berpikir sambil tertidur di kursinya berbantalkan tas selempangnya di meja. Pemuda itu melirik makhluk kecil yang mengayun kakinya di kusen. Pakaiannya sudah berganti.

"Kukira kau hanya punya baju jaman Majapahit," ucap Ivan. Ini hanya ungkapan namun Kun malah merasa tersindir.

"Tidak sopan. Kemarin itu seragam resmiku tahu," sahut Kun dengan nada penuh rasa kesal. Ia menggerutu, "Dasar! Anak muda jaman sekarang tidak sopan pada yang lebih tua."

"Itu hanya pernyataan. Bukan sindiran. Kau ini sensitif sekali."

Kun malah memicing, "Dalamnya laut bisa diukur. Dalamnya hati, siapa yang tahu?"

Pemuda itu memilih diam agar perdebatan itu berhenti. Percuma meladeni Pak tua mungil ini. Dia sama kerasnya dengan Marie.

Tunggu. Sepertinya ia ingat sesuatu.

"Kun," panggilnya. Kun hanya menggumam. Ah, ia masih marah. "Sejak dua hari yang lalu kau terus mengikutinya kemana pun. Tapi kenapa orang-orang tidak ada yang sadar?"

"Karena hanya kau yang bisa melihatku."

"Kau hantu?"

Cukup. Bocah SMA ini membuatnya sangat kesal. Ia melompat dari kusen dan mendarat tepat di kepala Ivan. Setelahnya ia memukul dan menjambak Ivan hingga pemuda itu harus mati-matian menahan sakit. Katanya sudah tua, tapi kelakuan masih anak-anak.

|||

Kun masih mengomel bahkan saat perjalanan pulang. Makhluk mungil itu tengah duduk di pundak kanannya sambil bersila dan bersidekap. Rambut tembaganya mengilat ketika diterpa cahaya mentari. Lucu juga.

Tiba-tiba Kun terdiam. Ia melirik ke segala arah. "Ada bahaya. Waspadalah," bisiknya.

Tak lama kemudian Kun berdiri lalu melompat ke atas kepala Ivan. Makhluk mungil berkuping runcing itu melepas kancing lengan kemejanya, lalu menggulungnya hingga ke siku. Pandangannya tetap waspada.

"Berhenti dulu," perintahnya pada Ivan. Pemuda itu segera menepi ke pinggir jalan dan berhenti.

"Ada apa?" tanya Ivan. Ia juga melirik waspada.

"Bahaya. Musuh mulai mengincarmu."

"Apa maksudmu?"

"Wah, wah," suara itu membuat Ivan dan Kun menoleh dengan cepat ke salah satu dahan pohon yang berada lima meter dari mereka. Tampak seorang pemuda yang tengah berjongkok di sana. Pakaiannya sama seperti Kun ketika pertama mereka bertemu. Pakaian kerajaan. Ia menyeringai, "Kau bahkan belum memberitahunya. Terima kasih sudah mempermudah pekerjaanku."

"Apa maumu, Lembu Sura!"

"Hei," bisik Ivan, "Lembu Sura? Bukannya ia ditimbun di sumur saat melaksanakan syarat meminang Dewi Ki ... siapa?"

"Dewi Kilisuci," jawab Kun dengan mengunci matanya tetap pada pemuda itu. "Dia ini titisannya."

"Kau tahu apa mauku, kan? Jangan pura-pura bodoh, Tapak Suro."

"Ck! Anak ini dalam pengawasanku!"

Apa maksudnya? Ia tidak mengerti perdebatan dua orang ini. Tiba-tiba pemuda di atas pohon mengeluarkan api ungu dari tangan kirinya.

"Tubuh sekecil itu mana mungkin bisa melindunginya."

Seketika api itu melesat bagai peluru dari senjata api. Begitu cepat menuju Ivan.

Tak kalah cepat, Kun menempelkan kedua telapak tangannya. Seketika juga tubuh Ivan dan Kun diselubungi cahaya tembaga yang halus. Api ungu tadi diserap seluruhnya oleh cahaya lembut layaknya kapsul itu.

"Ah, kau dalam bentuk itu. Aku tak tertarik."

Setelah mengatakannya, pemuda di atas pohon itu pergi. Lenyap begitu saja.

"Ayo pulang. Sudah waktunya mengajarimu banyak hal."

Ivan melangkah dalam diam. Ia hanya bisa merasakan kalau makhluk kecil di kepalanya ini begitu kuat.

"Sebelumnya, belikan aku susu coklat."

Ah, tetap saja seenaknya.

|||

Bersambung....

PentalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang