11

21 2 1
                                    

"Di ujung kakimu, dunia tanpa batas terhampar, di belakang tumitmu, ujung dunia terletak."

|||

Sudah satu jam berlalu dan ini sudah mulai sore namun mereka belum beranjak ke manapun. Mereka menunggu keputusan Kun yang sejak tadi menggeram kesal. Ada apa sebenarnya? Setahu mereka, Kun orang yang berkepala dingin. Tapi kali ini sampai seperti ini. Kun terus saja menggerutu, mengomel entah pada siapa.

Marie menatap perairan. Ombaknya terlihat aneh. Seolah ... ada makhluk besar di dalamnya. Makhluk ... besar?

Byurr

Tiba-tiba air menyembur kuat layaknya air yang disemprot mesin air paling kuat. Air yang turun layaknya hujan deras. Marie menyipit, berusaha mengintip makhluk apa yang membuat bayangan sebesar ini.

Terlihat naga yang begitu besar dan panjang. Dari sudut pandangnya, ia hanya bisa melihat sepasang mata merah yang menyala. Hujan ini mengganggu pergerakan dan penglihatan mereka.

Erangan keras memekakkan telinga terdengar dari sisi yang lainnya. Terlihat seekor naga lainnya bermata ungu menyala. Tatapannya jatuh tepat pada Ivan.

Naga bermata ungu itu mengincar Ivan.

Baru saja ia mau berteriak, naga bermata merah tadi langsung melesat menyambar Ivan. Terlihat naga itu menggigit Ivan dan melemparnya hingga melambung tinggi. Di ujung lengan, naga bermata Ungu sudah menanti dengan mulut terbuka.

Kun melemparkan serangan namun dihalau ekor si naga bermata merah. Naga itu menghempaskan air hingga membentuk ombak. Ini buruk! Ivan masuk begitu saja ke mulut naga itu.

Setelahnya, kedua naga itu menyelam kembali.

Hening.

Pikiran mereka kosong.

Ivan sudah tiada.

Kini, apa yang harus mereka lakukan?

"Ya ampun! Kalian sulit sekali dicari!"

Suara itu membuyarkan lamunan mereka. Dilihatnya seorant pria dewasa  yang begitu tegao dan gagah mendekati mereka. Ia mengenakan pakaian kerajaan khas Sriwijaya. Matanya mengamati keduanya dengan teliti, memeriksa keadaan mereka.

"Hei, kenapa kalian membeku? Kita harus cepat!" ucapnya dengan keheranan.

"Tidak bisa! Ivan su--"

"Itu tidak penting!" Ia memotong ucapan Kun yang lemah, "Yang penting sekarang kalian harus kuantar ke sungai Siak. Bersiaplah!"

Tak mau menunggu jawaban, pria itu menghentak kakinya sekali ke pasir. Kemudian tubuhnya mengeluarkan pendar cahaya putih gading keperakan. Semakin lama semakin terang dan besar hingga membuat silau.

Perlahan cahaya itu meredup. Memperlihatkan seekor gajah putih yang begitu besar dan indah dengan tato hijau yang menghiasinya. Gajah itu meliriknya.

"Cepat naik!"

Kun langsung menarik Marie yang bergeming. Setelah cukup dekat, belalainya mengangkat kedua orang itu dan diletakkan di punggungnya. Terdapat sebuah pelana yang cukup nyaman.

"Pegangan! Kita akan menyelam agar lebih cepat!"

Menuruti ucapan gajah itu, keduanya berpegangan erat pada pegangan pelana. Tak menunggu lama gajah itu mulai menenggelamkan diri ke lautan. Ketika berada di dalam, selubung tipis menyelimuti tubuh mereka agar bisa bernapas di dalam air.

"Kau...," Kun menebak, "si gajah putih yang katanya tenggelam itu, kan? Patih dari Sriwijaya."

"Ya dan tidak, Tapak Suro. Aku memang si Gajah Putih tapi aku tidak tenggelam."

Marie memperhatikan sekelilingnya  ini menakjubkan. Ia bisa melihat ikan-ikan berenang seolah tak ada batas diantara keduanya. Bahkan ia bisa menyentuhnya. Ini luar biasa.

"Lalu?" tanya Marie. Ia penasaran juga.

"Yang benar ketika aku kelelahan melawan pangeran Purbaya, aku berusaha menyeberang agar kembali ke kerajaanmu namun aku terombang-ambing di lautan. Kemudian salah satu prajurit Ratu Kartaka menemukan dan membawaku ke pulau itu. Ratu menyelamatkanku. Sejak itu aku mengikat sumpah untuk menjaga pulau itu dibawah laut."

"Ah, begitu."

"Aku sarankan kalian beristirahatlah. Setelah ini kalian akan menempuh ujian berat di sungai Siak atau Kampar. Entah yang mana. Yang jelas aku diperintahkan untuk membawa kalian."

"Tapi, bagaimana dengan Ivan? Ki--"

"Kubilang istirahatlah, Nona kecil."

Marie tak ingin memperlebar masalah yang ada. Akhir ia menurut. Dipeluknya erat-erat ransel Ivan. Biarpun menyebalkan, Ivan tetaplah temannya. Satu-satunya orang yang mau dekat dengannya.

Ia melirik Kun yang berada di sampingnya. Pria itu terlihat tenang seolah tak terjadi apa pun. Bahkan Kun juga mulai tertidur.

Marie berusaha memejamkan mata. Ia juga ingin tidur. Namun matanya mengkhianatinya.

"Tidurlah. Siapkan tenagamu untuk nanti," ucap si Gajah Putih.

"Tak bisa. Aku teringat Ivan."

"Temanmu itu baik-baik saja. Percayalah."

"Tidak mungkin. Naga tadi me--"

"Mau dengar nasihatku?" potongnya. Marie terdiam, ia anggap jawabannya mau. "Di ujung kakimu, dunia tanpa batas terhampar. Di belakang tumitmu, ujung dunia terletak."

"Maksudnya?"

"Hm ... seperti ... kau harus berani mengambil resiko. Kau harus yakin dan terus maju untuk mencapai apa yang kau mau. Mungkin semacam itu."

Marie terdiam. Mungkin memang seharusnya begitu. Ia harus menggantikan Ivan untuk ujian di tempat berikutnya. Setelahnya, ia bisa mencari tahu keadaan Ivan. Pasti para penjaga juga akan saling berkomunikasi mengenai ini.


|||

Bersambung....

PentalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang