5

46 5 0
                                    

"Jangan menilai sesuatu dari tampilan luarnya."

|||

Sejak malam itu Ivan tak menemukan Kun di manapun. Fakta bahwa menghilangnya Kun mau tak mau membuatnya berpikir. Apakah keputusannya sudah tepat? Atau ini akan sia-sia?

Jika dipikir lagi, ia masih sekolah dan umurnya saja baru enam belas tahun, baru kelas 2 SMA. Kembali ia menatap langit-langit kamarnya sembari telentang di lantai. Apa yang kemarin itu halusinasi? Pikirnya.

Line!

Smartphone miliknya berbunyi pelan. Ia segera bangun dan menghampiri benda persegi panjang di meja belajar. Memeriksa siapa yang mengiriminya pesan.

Marie_O
° Jangan lupa tugasmu.

Ivan menghela napas. Gadis ini seperti alarm hidup saja. Segera ia membalas pesan gadis cerewet itu lalu beralih pada tugas kelompok yang sempat ia telantarkan beberapa menit lalu. Tugas menggambar. Gadis itu tak pandai menggores pensil dengan indah. Sebagai gantinya Marie yang mencari materi untuk penjelasan gambarnya nanti.

Hampir tengah malam. Ia baru saja selesai menggambar. Tunggu. Ia baru sadar bahwa ini peta alur cincin api. Ia bahkan baru sadar bahwa gadis itu memerintahkannya menggambar peta Indonesia untuk menunjukkan alur cincin api dan arus laut yang kuat.

"Ah, aku baru sadar."

"Ternyata kau itu bodohnya keterlaluan, ya?"

Suara itu membuatnya menoleh ke pundak kanannya. Ternyata benar, Kun.

Namun, baru saja ia mau bertanya Kun sudah mengangkat telapak tangannya, "Aku menghadap sang Ratu. Melapor bahwa kau bersedia jadi relawan."

"Relawan? Ah, terserahlah. Apa pun namanya tetap sama saja."

Kun lompat dan mendarat tepat di rak buku meja belajar itu. Ketika menjentikkan jari, pakaiannya berubah jadi jaket dan celana jins ¾. Ia juga memakai sepatu kets putih.

"Seleramu, bagus," puji Ivan. Ia tulus memuji loh.

"Kau pikir aku hanya berjaga tiap saat? Kadang aku juga membaca beberapa majalah tren dan mode."

Oke, sepertinya dunia Kun tidak se-kuno yang ia pikir.

|||

Marie memeriksa gambar buatan Ivan. Yups, semuanya sesuai yang ia inginkan. Bahkan bagian daerah yang terkena bencana besar juga ditandai dan diwarnai dengan sempurna.

"Kerjamu bagus."

Ivan hanya bergumam, seperti biasa. Marie melirik pemuda yang sedang menghadap tembok itu. Ya ampun. Untung saja dia pintar. Percayalah, siapapun yang melihatnya pertama kali pasti menyangka Ivan seorang pembuat onar yang amat malas.

Yah, kalau soal kemalasannya sih sudah sejak dulu. Saat SD ia loncat kelas dari kelas 4 ke kelas 6. SMP ia masuk kelas akselerasi yang hanya dua tahun belajar. Itu juga selalu peringkat pertama.

Kenapa Marie tahu? Karena ia sudah sekelas dengan Ivan sejak TK. Ia sendiri sampai bosan bertemu Ivan tiap tahunnya di kelas yang sama. Bahkan ia pernah terang-terangan mengusir Ivan agar pindah sekolah.

PentalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang