12

19 2 1
                                    

"Hidup ini bukan tentang orang-orang yang berbuat baik di depanmu. Hidup ini adalah tentang orang-orang yang menjaga kesetiaan walau mereka di belakangmu."

|||


"Hei, Nona kecil. Kau sedang apa? Sejak dua hari lalu kau hanya terdiam."

Si Gajah Putih sudah tak bisa menahan rasa penasarannya lagi. Ia sangat penasaran dengan isi kepala Marie. Gadis itu duduk bersila dengan memangku senjatanya yang masih terbungkus kain beludru biru. Ia memejamkan mata sejak dua hari lalu. Apa gadis ini terbiasa melakukannya?

Mata Marie terbuka perlahan. "Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya. Aku hanya mengikuti suara yang terdengar di kepalaku."

"Hm? Suara?"

"Ya. Mirip sekali dengan Ku--Tapak Suro."

Kepala gajah itu mengangguk. Ia melirik Kun yang harusnya ada di sebelahnya. Tidak ada. Kemana dia?

"Marie," panggil seseorang. Ia menoleh ke sumber suara. Ternyata Kun yang tengah berenang sambil memegangi tali di pelana. Sejak kapan? "Boleh kupinjam tombaknya sebentar?"

"Tombakku? Untuk apa?"

"Menyelesaikan beberapa masalah. Cepatlah."

Tak banyak bicara lagi, Marie memberikan tombaknya. Segera Kun membuka kain penutup itu.

Tombak itu memancarkan cahaya lembut berwarna gading. Baru kali ini Marie melihat bentuk aslinya. Mata tombaknya tidak terlalu tajam. Agak membulat. Badan tombaknya mengilat indah berwarna senada, seolah terbuat dari gading gajah yang bersih. Pada bagian pangkal terdapat cincin besi yang menancap, seperti besi yang ditancapkan di langit-langit teras untuk menggantung sangkar burung. Bedanya yang ini lingkaran penuh, bukan tigaperempat lingkaran.

Kun mengayunnya sedikit. Tombak itu mengeluarkan cahaya yang membentuk berbagai macam motif yang berpendar kebiruan lembut. Indah sekali.

"Karara Reksa," lirih si Gajah Putih. Matanya menatap tombak penuh kekaguman.

Kun menatap Marie. "Ayahmu bernama Ansama Kitya?"

"Ya," jawab Marie dengan ragu.

"Pantas saja. Dia selalu pintar membuat kejutan."

"Kau mengenal ayahku?"

"Tentu." Wajahnya begitu masam dan melihat kesal, namun bukan benci. Kun menggerutu sendiri lalu berbalik. "Aku pinjam sebentar ada gangguan sedikit. Tetaplah di sini." Setelahnya Kun pergi menjauh.

Si Gajah Putih mengangguk. A akhirnya turun ke dasar lautan yang tak terlalu dalam. Sambil menunggu, ia bermain-main dengan ikan-ikan kecil yang mengelilinginya.

"Gajah Putih," panggil Marie.

"Biarkan aku menebak. Tombak Karara Reksa?"

"Ya. Tombak apa itu?"

"Itu salah satu tombak pusaka Nyi Roro Kidul. Ratu pantai selatan. Kau pasti tahu, kan?"

"Ya. Aku tahu. Lalu kenapa tombak itu ada pada ayahku?"

"Hm ... entahlah. Mungkin sesuatu terjadi sampai pada akhirnya Nyi Ratu menitipkannya. Itu berarti ayahmu orang yang bisa dipercaya."

"Tentu saja. Tapi ... ada yang mengganjal. Tombak itu begitu ringan. Bahkan kadang rasanya aku seperti tak membawa apapun di punggungku."

"Aneh."

"Hm?"

"Kudengar tombak itu cukup berat. Entahlah. Mungkin itu mitos belaka."

"Itu bukan mitos," sela Kun. Ia baru saja kembali. Napasnya terdengar begitu berat. Ia tersengal.

"Apa maksudmu?" tanya Marie.

"Tombak ini sangat berat. Rasanya seperti sedang mengayunkan alu dari baja."

Seberat itukah? Tapi sungguh ia tak merasa keberatan. Kadang terasa seperti membawa lidi. Tak terasa dan terlalu ringan.

Kun kembali duduk di samping Marie sambil mengatur napasnya. Gajah Putih kembali melanjutkan perjalanan, mengayuh kakinya perlahan agar tak merusak karang.

Sebentar lagi ia sampai di sungai Siak. Aliran air yang berbeda warna mulai terlihat di kejauhan.

Namun sesuatu terjadi, tiba-tiba air di sekeliling mereka mulai berputar begitu cepat. Kun dan Marie segera merapat sedangkan si Gajah Putih langsung menghentikan kayuhan kakinya.

Sekelebat mata, seseorang muncul di atas kepala si Gajah Putih. Ia memakai jubah putih kebiruan dengan topeng emas yang menutupi seluruh wajahnya. Rambut peraknya sedikit mencuat dari balik topeng.

Kun mengenalnya!

"Apa-apaan ini?!" bentak Kun.

"Kalian salah arah. Aku akan mengirim kalian ke koordinat yang benar secepatnya."

Suaranya berat dan sangat tenang. Perlahan tubuhnya mengeluarkan cahaya perak kebiruan yang semakin terang. Hingga akhirnya membuat mereka tak dapat membuka mata sama sekali.

|||

"Maaf. Aku salah membaca pesan."

Ini sudah ke sekian kalinya si Gajah Putih minta maaf. Ternyata yang seharusnya ke sungai Siak bukanlah mereka, melainkan pengawal Ratu Kartaka, Pulupan. Ada keadaan cukup gawat di sana.

"Kalau begitu, buat kami sampai secepatnya ke sungai Palu," balas Kun dengan dingin. "Hidup ini bukan tentang orang-orang yang berbuat baik di depanmu. Hidup ini adalah tentang orang-orang yang menjaga kesetiaan walau mereka di belakangmu. Aku curiga kau sengaja salah arah untuk memperlambat kami."

Sejak sejam lalu mereka tiba di muara sungai Palu, Kun jadi begitu dingin. Mungkin jengkel dengan Gajah itu.

Whosh!

Peluru air melesat begitu cepat melewati mereka, menyayat pipi Marie sedikit.

"Apa itu?" tanya gadis itu terbata.

"Kalian harus melewatimu dulu!"

Suara lantang itu membuat perhatian mereka teralih.  Kini mereka di hadang seekor buaya putih yang begitu besar. Giginya runcing mencuat dan matanya merah menyala.

"Ini wilayah ku!"

|||

Bersambung....

PentalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang