9

22 2 0
                                    

"Manusia yang hebat adalah manusia yang tak malu mengakui kesalahannya."

|||

"Astaga! Panas sekali!"

Sejak tiba di pulau tempat gunung anak Krakatau ini, Ivan terus saja mengeluh kepanasan. Mungkin kemampuan elemntasinya memengaruhi kondisi fisiknya. Padahal untuk sampai ke pulau ini mereka menaiki burung peliharaan Kun. Seekor Elang raksasa berbulu kebiruan. Mereka tak mengeluarkan terlalu banyak tenaga. Tapi lihat saja Ivan. Pemuda itu seolah hampir mencair.

"Apa kau tidak kepanasan?" tanya Ivan pada Kun.

"Tidak. Tubuhku secara otomatis mengeluarkan energi pelindung agar tidak kepanasan."

"Curang."

"Hei, apa kita sudah berada di tengah hutan?"

Pertanyaan Marie membuat keduanya menoleh pada gadis yang tengah bersandar di pohon. Sepertinya sudah batasnya. Sejak tiba tadi pagi, mereka terus berjalan ke arah hutan. Kun bilang gerbangnya ada di tengah hutan.

"Kita istirahat sebentar," ucap Kun.

Akhirnya Marie dan Ivan langsung jatuh terduduk. Mereka sangat lelah. Keduanya memilih bersandar di pohon rindang yang terdekat. Astaga, panas sekali. Rasanya seperti ketika musim panas pada puncaknya. Ivan memeriksa reliknya. Ternyata reliknya kecil. Jika digabungkan, mungkin hanya sebesar telur ayam kampung.

Selagi keduanya beristirahat, Kun berulang kali menghubungi pihak penjaga di pulau ini. Lagi-lagi tak ada jawaban. Sama seperti sebelumnya. Ada apa ini? Apa kontak penghubung mereka rusak seperti yang terjadi di Danau Toba?

Kontak penghubung mereka berupa batu yang diisi energi dari masing-masing penjaga. Hanya beberapa orang yang memiliki aksesnya. Sedangkan batu penghubung antar penjaga di Danau Toba rusak parah hingga harus ditempa dan diisi ulang. Butuh waktu tiga minggu untuk membetulkannya.

"Kun," panggil Marie. Kun menoleh. "Kerajaan Kartaka dipimpin seorang Ratu?"

"Ya. Beliau begitu anggun dan tegas. Kenapa?"

"Hm, letaknya di bawah tanah?"

"Ya. Istana itu di kelilingi sungai dan air terjun dari lava. Pilarnya dari batu obsidian. Kau pasti terpesona."

"Tapi, kita bisa terpanggang hidup-hidup."

"Tenang saja."

Yang terakhir bicara itu bukan salah satu dari mereka. Melainkan seseorang yang baru saja datang dengan senyum di wajahnya. Apalagi ketika matanya menemukan sosok Kun. Ia menunduk hormat sekilas lalu ikut meneduh di bawah bayangan pohon.

Ivan memperhatikan sosok itu. Seorang pemuda dengan rambut ikal pendek dan ikat kepala berwarna kuning dengan corak hitam yang rapi. Ia memakai pakaian mirip Kun. Seorang Patih mungkin. Bedanya pemuda ini tak memakai unsur logam sama sekali.

"Selamat datang, Tapak Suro," sambutnya dengan ramah.

"Ya ampun. Untung kau menemukan kami, Pulupan. Aku tak bisa menghubungi kalian," seru Kun. Ia melompat dari pundak Ivan dan berubah ke ukuran normal.

PentalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang