S a t u

684 17 0
                                    



Aku lebih suka menyebutkan nama panjang sebelum nama panggilan. Gemma Alyana Achates, Gemma. Aku bangga dengan nama belakangku, 'Achates', nama Ayah. Ah ayah, yang mungkin saat ini sedang menari di langit lepas. Bunda sudah menyandang dua gelar dalam rumah tangga semenjak aku dan Jeral, kakaku, masih duduk di bangku SD. Bunda juga ayah bagiku, terutama bagi Jeral. Jeral...Jeral yang malang, dari kecil sudah habis ku cekoki dengan beragam macam mainan perempuan. Belum lagi kalau masuk libur lebaran, Jeral habis aku peralat dalam operet kecil-kecilanku dirumah. Dia pasrah kudandani pakai lipstik dan eyeshadow yang kucuri diam-diam dari tas bunda, dan harus berperan menjadi 'mpok Idah', peran yang tak pernah berganti disaat aku dan teman-temanku terus bergilir peran. Sejak saat itu, bunda jadi lebih menunjukkan perannya untuk Jeral, takut anak laki-lakinya ditindas terlalu lama oleh adiknya yang tidak tahu diri.

Kami meninggalkan Jakarta di tahun '97 dan memutuskan untuk menetap di Bandung sampai hari ini. Bunda bermasalah dengan perusahaan dimana ia berkerja sebelumnya. Mungkin dia jenuh, dan sejenak ingin meninggalkan Jakarta membawa kami berdua ke tempat yang menurutnya 'lebih teduh'. Ada hal yang tidak aku mengerti dari hari itu. Semua seperti angin, berlalu begitu cepat yang akhirnya membawa kami bertiga menetap di kota yang kecil ini. Ya, hanya kami bertiga.

Bunda akhirnya kembali berkerja setelah 5 bulan mengurung diri dirumah. Waktu kecil, aku sama sekali tidak mengerti apa yang Bunda lakukan sehari-hari. Tidur, bangun, mandi, makan, merajut, nonton TV, tidur, bangun, dan begitu terus selama beberapa bulan. Aku pikir semua orang dewasa akan begitu nantinya, menjalani hidup yang sama sekali tidak menyenangkan. Jujur, karena itu aku sempat takut untuk tumbuh dewasa. Sekarang aku baru tahu bahwa Bunda dulu mengalami fase depresi; suami meninggal, hilang perkerjaan, pindah kota, Jeral masuk SMP dan aku naik kelas 5, semua butuh biaya. Semua mengeluarkan biaya. Biaya.

Tapi diluar semua kesulitan bunda, aku masih bisa bersekolah di salah satu sekolah unggulan di Bandung, begitu juga Jeral. Tidak ada satupun dari kami yang terlihat susah di mata orang lain. Ini yang aku salut dari Bunda. Pontang-panting kesana kemari, pinjam kiri-kanan agar aku dan Jeral bisa bersekolah ditempat yang terbaik, mendapatkan pendidikan yang layak walau kehidupanku tak selayak anak-anak lain.

Aku masih ingat, tiap malam terbangun oleh setetes air yang menetes ke daun telinga. Aku pura-pura tidur saat bunda melepaskan tangannya yang dari tadi mendekapku. Aku tahu ia sedang menyeka air matanya. "Pasti bunda nangis", benakku.
"Jangan-jangan karena uang?", ujar benakku, lagi. "Apa uang sekolahku terlalu mahal? Atau rumah-rumahan yang bunda beli buat aku kemarin ngabisin seluruh tabungannya", lagi-lagi benakku menerka-nerka. Bagi anak kecil sepertiku dengan latar ekonomi keluarga yang krisis, kesedihan adalah; tidak punya uang. Tidak ada uang, tidak bisa makan. Tidak ada uang, tidak bisa beli mainan. Tidak ada uang, tidak bisa sekolah. Jadi definisi sedih itu adalah uang. Malam itu, di dalam hati aku bertekad untuk bersekolah sebaik-baiknya untuk uang, untuk bantu bunda, untuk hidup yang lebih baik dari hari ini. Seiring berjalannya waktu aku menemukan perbedaan antara aku dan bunda. Kerap kali bunda menangis karena uang, kerap kali juga aku menangis karena perasaan. Satu perasaan yang saat itu, belum bernama. Saat duduk di bangku SMP, aku tertarik pada cowok jangkung yang duduk dua bangku dari bangkuku. Mungkin karena dia pintar, mungkin karena dia gaul, mungkin karena dia bisa menjawab semua pertanyaan guru, mungkin karena dia yang paling sering tunjuk tangan dan menyelesaikan soal matematika di papan tulis, mungkin. . . karena dia adalah dia. Aku suka semua yang ada pada diri dia, susah untuk dijelaskan. Lalu aku ingat berlari menerobos pekarangan sekolah sambil terisak-isak, mencari toilet terdekat untuk sembunyi. Sedihnya tidak terkira melihat Gio, cowok yang beberapa bulan lalu menghiasi sel-sel otakku dengan pelangi menyatakan cintanya pada cewek seberang kelas. Didepan mataku! Pada saat itu konsep kesedihan yang kuanut dari bunda berubah seketika. Sedih bukan lagi uang, melainkan cinta. Ketika aku melihat orang yang aku cinta mencintai orang lain, aku sedih. Ketika aku ditinggal Ayah yang aku cinta, aku sedih. Ketika aku tidak mencintai sekolahku, aku sedih. Begitu juga dengan hidup. Jika aku tidak mampu mencintai kehidupanku yang serba minim ini, aku akan terpuruk dibawah kelabu terus menerus. Aku jadi belajar, untuk sangat berhati-hati ketika menumbuhkan rasa cinta pada apapun. Karena tanpa itu, kita sedih dan dengan itu, kita bahagia.

Jeral ternyata menganut paham yang sama soal cinta. Ia memutuskan untuk berkuliah ditempat dimana ia temukan cinta; seni. Kecintaan Jeral pada seni membawanya ke salah satu universitas musik terbaik di Australia dengan prestasi beasiswa yang tentu sangat bertentangan dengan keinginan bunda. Bunda, money oriented. Ingin Jeral masuk teknik dan menetap di Bandung agar dari segi karir lebih terjamin, ingin Jeral masuk kedokteran, ingin Jeral ini, itu. Benar sih, sebagai anak laki-laki di keluarga Achates sudah seharusnya keuangan keluarga menjadi prioritas tertinggi Jeral apalagi setelah Ayah meninggal. Tapi ini yang Jeral cintai, bunda. Uang dan cinta memang tidak pernah sejalan, maka itu pilihlah salah satu. Jeral memilih cinta.

Sudah.

Mungkin itu jalan hidupnya.

Beda dengan Jeral, aku lebih memilih untuk tidak mengutarakan apa yang aku mau, apa yang aku cintai. Jeral sudah masuk kedalam check list bunda sebagai anak tidak berbudi dan kini aku satu-satu nya harapan. Aku juga tidak akan mengutarakan pada kalian apa yang sebenarnya aku mau. Lulus SMA, tanpa basa-basi bunda memasukkan aku ke satu Universitas unggulan di Bandung dengan jurusan arsitektur. Dan inilah aku, gadis 20 tahun yang terus menyesali jurusan yang (terpaksa) aku ambil, kerap menggerutu, dan tidak percaya lagi cinta. Ah, apa itu cinta? Semua yang kucintai kandas, terhempas oleh waktu.

Tanpa itu, kita sedih dan dengan itu, kita sakit.

Senja di Mata BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang