S a t u ½

530 12 0
                                    



Angkasa terbentang luas.

Warna jingga mendominasi setiap sudut langit,

indah.

Indah paras sang awan.
Putih, berselimut jingga,
bak bidadari tersipu malu karena cinta.
Bidadari-bidadari itu merangkul satu sama lain,
bersama menuju barat untuk berpisah dengan langit.
Maka,
sang merah bundar pemilik senja
perlahan sembunyi di balik garis horisontal,
tersenyum pada sosok gadis yang tersenyum kembali padanya.
Angin sore yang ribut kini tenang.
Bersama langit malam ia sunyi,
ciptakan hening yang dinantikan oleh para bulan dan bintang.

Mataku terpejam mencoba merasakan dinginnya angin malam Bandung yang kian menusuk. Sudah malam ternyata, tidak terasa. Seperti barusan langit masih terang, masih kemerah-merahan, rasanya baru saja aku berbicara pada langit dengan sajak-sajak puitis. Ah, nikmatnya menanti senja. Aku suka sekali senja. Suka sekali. Bukan hanya senjanya saja, tapi momen nya. Bagiku momen adalah torehan kehidupan yang meninggalkan bekas, luka, warna.

Aku sangat dan sangat menyukai momen dan senja.

Aku bahkan tahu, jam, menit dan di detik berapa matahari terbenam tiap hari.

Sebelum kalian mengira kalau aku ini aneh, aku adalah gadis penanti senja. Aku jatuh cinta padanya, entah mengapa. Mungkin seperti yang ku katakan tadi soal momen, senja adalah suatu fenomena alam yang paling besar menorehkan bekas di dalam kehidupanku. Warna langit, bentuk matahari yang bulat dengan cahayanya yang tak lagi menyilau, angin yang seakan melambai-lambai, suara burung berkicau yang berterbangan di langit, semuanya berkesan di benak ini. Seperti halnya senja, aku tidak mau melewatkan momen apapun didalam hidup, dan tak mau pula menghapuskan momen-momen yang sudah terjadi. Itu janjiku.

Aku masih memejamkan mata saat mendengar suara sepatu kian mendekat. Suara tapaknya menggema, aku tahu ini siapa.

"Gem?"
benar kan. Lewat dari jam 8 Abra pasti datang, memastikan keadanku baik-baik saja. Ya jelas aku baik, I'm good. Aku gak melakukan aksi akrobat dan gymnastik diatas atap kok, tenang.

"Eh Abra!" kataku pura-pura kaget. Aku melihat wajah porselennya terbalik, karena posisiku masih terbaring di lantai sedangkan ia berdiri tepat dibelakang kepalaku (kebayang?). Ia membawa cup berisi milo hangat. Pasti itu milo hangat, karena aku akan menolak jika diberi teh.

"Nih Milo panas."

Tuh kan. Aku sumringah.

"Thanks, sini duduk," aku mengajaknya kesebelahku sebelum Abra berceloteh lebih banyak lagi soal keberadaanku yang terlalu larut diatas atap ruko ini. Abra, is my shadow. Kenapa aku bilang begitu? karena ia selalu membayang-bayangi kemanapun aku pergi. Aku merasa, jika badanku tersorot matahari, terpantulah dua bayangan; bayangan hitam yang terpantul di lantai, dan bayangan hitam (Abra) yang muncul dibelakang. Perumpamaan yang buruk namun begitulah Abra, selalu ada disaat aku butuh, tidak peduli waktu dan hari, dia pasti selalu ada. Selalu hadir dalam setiap kejadian, tidak pernah absen. Mungkin dia merasa aku adalah mahluk ceroboh yang perlu dilindungi. Mungkin ada benarnya. Aku banyak melakukan kebiasaan bodoh, di kuliah aku banyak melakukan hal konyol, mungkin kalo tidak ada Abra aku akan terjerumus kedalam kebodohan yang berkesinambungan.

"Udah malem banget loh"

"Iya," jawabku singkat. Abra makin menimpali, "Lo tuh gabisa jaga badan deh. Minggu depan kita UTS, lo masih aja berangin-angin disini. Lagian apa sih bagusnya nih tempat? Tiap hari kesini mulu."

Iya, iya. Cerewet.

Ah, Abra juga gak bakalan ngerti kenapa aku jatuh cinta sama atap ruko ini, secara kita punya pemahaman yang beda soal 'indah'. Indah menurutnya, menikmati suasana mall yang sedang ricuh karena sale besar-besaran di akhir tahun. Indah menurutnya, 'nongkrong' di kafe, minum kopi, menghabiskan waktu sambil menikmati alunan musik. Indah menurutnya, berada di keramaian.

Senja di Mata BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang