D u a ½

191 6 0
                                    



'Firasatmu yang muncul pertama kali selalu benar'.

Firasat kedua, ketiga, dan seterusnya merupakan penyempurnaan dari yang pertama saja, karena semakin lama, apa yang kamu rasakan pasti akan teraktualisasikan juga. Belajarlah untuk selalu mempercayai firasat pertama- kata hati yang paling kecil suaranya karena itu yang akan (biasanya) menyelamatkan kita.

Aku memasuki sebuah bangunan berlorong-lorong yang remang-remang kekurangan lampu. Dari sini, sayup-sayup aku bisa mendengar musik yang sangat kencang dengan suara bass nya yang berdentam-dentam- aku menyesal kenapa tidak mendengarkan firasatku dari awal. Yes, it's definitely a party, apalagi namanya kalau bukan? Dengan kesal aku langsung melepaskan genggamanku dari tangan Abra. Ditengah ruangan yang remang akan lampu itu, mata Abra menyipit menatapku heran.

"Kenapa sih?"

"Ini acara apa sih?" tanyaku balik tanpa basa-basi.

"Acara temen gue, semacam. . ramah tamah gitu."

Ha? Ramah tamah? Gimana caranya mau beramah tamah kalau untuk saling melihat saja sudah susah karena lampu yang remang-remang, ditambah lagi suara musik yang kencangnya bukan main. Aku langsung berancang-ancang untuk pergi dari tempat itu.
"E-eh mau kemana? Kenapa sih Gem??" Abra menarik tanganku cepat. Sepertinya ia betul-betul heran, padahal seingatku dia sudah tahu betul kalau aku paling tidak suka dengan acara yang seperti ini.

"Lo pasti ngira ini party, ya?" tebaknya sambil sedikit tertawa. Aku malas untuk menjawab.

"Ha ha ini jauuh banget dari party, Gemma... Lo gak suka denger musiknya? Maklumin, temen gue emang suka banget sama musik dance jadi setiap acara yang dia bikin selalu pake musik ginian. Don't worry, gak bakal ada orang-orang tipsy kayak di party, kok. I know you don't like that kind of thing." Abra mencoba meyakinkan aku untuk masuk ke ruangan utama dimana acara berlangsung. Tangannya masih menggenggam tanganku agar aku tidak pergi. Aku masih menimbang-nimbang antara fakta yang aku lihat dengan perasaanku. Rasanya aku bisa mempercayai omongan Abra, tapi melihat faktanya... tempat ini membuatku mual. Belum sempat aku memutuskan apapun, tangan Abra mendadak menarikku kuat hingga kami berdua masuk ke ruangan utama. Lampu sorot berwarna merah keunguan menyoroti tiap manusia diruangan itu, manusia yang sedang hilang akal karena euphoria, begitu aku menyebutnya. Rasa kekesalanku pada Abra kian menjadi ketika kami berdua dihampiri beberapa wanita berbaju minim yang laganya ingin cari ribut.

"Hai ganteng. . kamu gak cucok banged deh sama cewek kaya ghini" komentar wanita #1 dengan gaya bicaranya yang agak kebencong-bencongan.

"Ganteng-ganteng kok macarin mbak-mbak katrok'? Nanti kamuh keikut kamphungan loh." Komentar wanita #2 yang laganya sok memberi saran. Lalu wanita #3 yang berotak lebih minim diantara yang lain, mencoba berkomentar dengan gaya yang berbeda.
"Eh, lu olang gak usah sok cante' deh! Gua hajar juga lu!" dia langsung mengomentari secara frontal dan lebih agresif ketimbang yang lainnya. Oh what the hell. . Aku memutar bola mataku keatas, pasrah. Sudah kuduga pasti akan begini, suasana party yang selalu diselimuti intrik dan sirik antar cewek tentang siapa yang lebih cantik, lebih seksi, lebih stylish dan lebih gaul dan... I'm none of them.

"Girllssss, yang baik dong sama tamu kita. Yang sopan."

Mendadak pria berperawakan tegap datang dari belakang sekumpulan wanita itu. Abra melepas genggamannya dari tanganku dan terbahak sambil memeluknya.

"Ah! Its good to see you man." Pria itu membalas pelukan Abra sembari tertawa.

Sekilas, kedua bola matanya tertuju padakku. Ia tersenyum.

Senja di Mata BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang