S a t u ¾

322 9 0
                                    


Waktu SMP aku sempat menyukai biologi. Di satu hari aku belajar tentang anatomi manusia, dan hari itu kami memfokuskannya kepada jantung khususnya detak jantung. Saat itu adalah kelas praktek, dan pak Pur, guru kami mengenalkan kami pada sebuah alat yang bernama Elektrokardiogram; sebuah alat yang merekam aktivitas kelistrikkan jantung pada waktu tertentu. Aku terdengar pintar, ya? Ini aku kutip dari definisi Wikipedia kok, tenang. Aku tidak mungkin sekutu-buku itu. Jujur dulu aku hanya bisa terperangah dan tidak mengerti apa maksud dan tujuan dari alat ini. Entah dari mana guru kami mendapatkan ide dan dana untuk mempersembahkan alat ini di kelas, yang jelas, dia guru ter-kreatif dan ter-inisiatif yang pernah aku kenal.

Ciko, bocah lelaki yang menjadi kelinci percobaan dikelas kami. Wajahnya sudah takut duluan bahkan sebelum alat itu menyentuh tubuhnya. Raut wajahnya seperti orang yang sedang bersiap untuk dijadikan tumbal. Pak Pur dengan semangat menunjukkan apa kebolehan dari alat ini, aku masih ingat ada beberapa kabel terurai dari dalam baju Ciko (harusnya dia buka baju, tapi setelah menangis karena merasa dilecehkan didepan kelas akhirnya pak Pur menerima negosiasi Ciko untuk menempel kabel-kabel itu dibawah bajunya.) Tak lama kemudian, mesin itu mencetak grafik detak jantung Ciko kedalam beberapa kertas. Bentuknya berupa kurva yang terus naik turun, tidak pernah datar. "Naik turunnya kurva disini menandakan bahwa jantung kita masih bekerja, masih memompa darah ke organ tubuh lainnya. Ini yang mengindikasikan bahwa kita bernafas, bahwa organ kita masih berfungsi baik, bahwa kita hidup." Begitu kata pak Pur.

Naik dan turun. Dua hal itu yang sering terjadi dalam hidup ku, dalam hidup kita semua. Kita tidak bisa meminta untuk tidak merasakan naik turun, karena ketika kita tidak merasakan itu lagi artinya kita mati. Seperti jantung yang tidak berdetak lagi.

Aku rasa memang semua yang terjadi sudah semestinya terjadi. Jeral mendadak akan menikahi seseorang di Aussie, itu yang terjadi. Hal ini adalah 'turun' bagiku dan bunda, karena kita tahu bahwa ini adalah sebuah masalah yang besar. Masalah yang akan memecah belah kami bertiga, pastinya. Aku tidak mungkin menghindar dari kurva yang terus naik dan turun ini karena aku masih hidup. Kembali lagi seperti detak jantung; berhenti berdetak adalah satu-satunya cara untuk memberhentikkan detaknya.

Semenjak perbincangan tadi malam, aku memutuskan untuk tidak bicara pada Jeral sementara waktu dan Jeral pun sepertinya begitu. Kita kembali bermain permainan diam untuk sekian kalinya dan kali ini, aku berjanji tidak akan memecah keheningan lagi. Badanku terasa melayang-layang diudara, dadaku berat seakan tertimpa timbunan pasir. Aku merasa bumi berotasi begitu cepat dan badanku berputar mengikutinya. Kata-kata Jeral berputar dikepalaku mengulang-ulang seperti kaset rusak.

"Gue salah. Gue harus tanggung jawab. Gue harus nikahin dia dan gue butuh biaya."

Aku masih benar-benar tidak percaya apa telingaku ini telah menangkap omongan yang benar? Apakah ini semua benar terjadi? Rasanya baru kemarin aku memperalat Jeral yang lugu dengan mencemongkan lipstik di bibirnya, memerintahkan dia untuk berperan sebagai 'mpok idah'. Rasanya baru kemarin kita berlari sana-sini merecoki seisi rumah. Dan sekarang? Aku bahkan tidak sanggup untuk membahasnya. Kakaku tidak selugu yang aku kira.

Uang. Uang. Uang lagi. Jeritan bunda semalam lebih mendefinisikan : "Nikah?! Mau bayar pake apa?!!" ketimbang : "Kamu memalukan nama kamu, nama bunda, nama ayah dan nama keluarga ini!! Kamu pikir gak apa yang udah kamu lakukan?!!"

Lagi-lagi uang telah menjadi prioritas utama semua orang, menjadi pusat perhatian, mengalahkan semuanya. Aku bosan dengan uang, dengan masalah Jeral, dengan jeritan bunda. Pagi itu aku memutuskan untuk pergi tanpa meninggalkan pesan seperti yang mereka sering lakukan padaku; sejenak hilang tak tahu kemana.

Senja di Mata BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang