T i g a ½

143 6 0
                                    


He's in love with me.

Aku tahu bahkan sebelum aku selesai membaca suratnya. Aku merasa semuanya melambat; bumi berotasi lebih dari 24 jam. Hatiku berdegup lebih dalam dari biasanya, "He's in love with me" rasanya aku ingin mengulang kata itu beribu-ribu kali agar aku percaya. Untuk sesaat, insting ku berkata untuk membuang surat itu jauh-jauh – beberapa menit kemudian insting ku berkata untuk membaca surat itu kembali. Ini tidak mungkin, kalau pun dia jatuh cinta padaku, pastinya aku tahu jauh sebelum kita dekat seperti ini. "I hope you're in love with me too" lebih terdengar seperti kalimat pemaksaan daripada pengharapan. Mana mungkin aku jatuh cinta pada Abra? Maksudku...Abra? Dia sudah seperti kakakku sendiri, mana mungkin? Sama saja seperti aku jatuh cinta pada Jeral, is that even possible?

Tiba-tiba ubun-ubun ku terasa mengepul seperti air yang sedang direbus, aku melempar badanku ke kasur dan menghela napas panjang. Ini adalah satu hal yang tidak pernah aku bayangkan, aku selalu berharap Abra tidak akan pernah jatuh cinta padaku. Siapapun boleh jatuh cinta padaku, asal bukan Abra. Berulang kali aku membaca suratnya; semakin dibaca semakin tidak percaya. The picture in my head wasn't that pretty, bayangan kalau aku dan Abra saling jatuh cinta.

Di waktu yang bersamaan, aku juga ingin bertemu dengannya, memberi kepastian yang pahit bahwa aku tidak mungkin jatuh cinta padanya, atau rasa ini tidak lazim untuk dilanjutkan. Aku tidak ingin melukai hati Abra atau memberinya harapan palsu. Dan aku tahu, it's too much untuk Abra jika aku memutuskan untuk menolaknya. Suara-suara berkecamuk di kepalaku, benak ini rasanya bergejabul buatku gila. Instingku yang terakhir mengatakan untuk meremas suratnya dan membuangnya jauh-jauh – aku mengikutinya.

Ada yang berbeda dari rutinitas hari ini; bangun pagi, pergi ke kampus, bertemu Abra. Sejak pagi dunia terasa bergoncang hebat, bumi seakan memecah belah dirinya. Menunggu jarum jam berputar sampai pukul 4.30 buatku sekarat, aku bingung apa yang harus kukatakan nanti.

Saat langit mulai berwarna kemerahan, aku berjalan pelan dari plang bertuliskan "Jalan Braga" menuju atap ruko. The street was quite, kecuali suara bising angin di kupingku. Aku mulai cemas dan mengepalkan tangan, rasanya ingin mengikuti insting untuk pergi namun hatiku berteriak lebih kuat. I have to see him, aku harus memberinya kesempatan untuk bicara. Tak lama setelah itu aku tiba di atap, menemui Abra yang sedang bersimpuh di lantai yang terbalut debu. Mata Abra menatapku sendu, ia tampak lunglai dibalik topeng 'riang' yang ia gunakan.

"Hai, Gem." Sapanya. Aku mengangguk tanpa berkata sepatah kata. Abra bangkit dari duduknya.

"Apa kabar?"

"Baik." Jawabku singkat. Suasana semakin canggung dan dingin. Angin tak lagi bising, meninggalkan kami berdua yang diterkam sunyi. Sebelum Abra membuka mulut lagi, aku dengan cepat menyambar dengan pernyataan konyol,

"I-I'm in love."

"I-I'm in love" aku mengulang, kemudian menambahkan, "with someone else"

Aku benar-benar bodoh. Apa yang telah aku lakukan? Aku tidak jatuh cinta pada siapapun, kenapa aku beraninya berkata seperti itu? Aku bahkan belum memberi Abra kesempatan untuk bicara. Kemaha-tololan betul-betul bersemayam di otakku.
"sama siapa? Elo jatuh cinta sama siapa?" nada Abra kian meninggi. Ia seperti menekankan point nya bahwa tidak mungkin aku jatuh cinta pada orang yang bahkan ia belum kenal.

"Sama siapa Gem??" tanyanya lagi, menaikkan ketegangan antara kita berdua.

"I'm, I'm in love with.." Ditengah dinginnya suasana, tiba-tiba aku tersentak. Sosok Bintang muncul dari belakang Abra, membuat jantungku berdegup lebih dalam lagi.

Senja di Mata BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang