D u a ¾

205 8 0
                                    



"Monday... was a blue day..."

Endah and Rhesa bernyanyi lewat earphone yang menggantung ditelingaku. Pagi ini aku merasa kelabu, semacam perasaan biru kalau kata orang barat, semacam depresi kalau kataku. Dari tadi aku hanya termenung memandang jauh ke halaman kampus yang hijau, menghayati perasaan cemas, gundah, pesimis yang tak jelas juntrungnya.

Semua tentang kejadian semalam yang membuatku semakin skeptis akan pergaulan, tak banyak orang berbuat baik di zaman yang egosentris ini. Termasuk Abra, salah satunya, dan fakta itu sangat mengenyuhkan hati. Andai saja senyuman Bintang tadi malam mengindikasikan dia orang yang sadik, tanpa dipertanyakan lagi aku pasti terpikat dan ingin terus bersama-sama denganya. Andai saja semua orang mempunyai senyum semanis, setulus dan sehangat itu... Aku berpikir apa sih.

Sempat terbesit di benakku yang sibuk berpikir ini bahwa vice versa adalah suatu hukum alam - orang baik bisa jadi jahat, dan sebaliknya. Tidak ada kebaikkan dan kejahatan yang absolut, kedua hal ini bisa saja bertukar tempat seiring berjalannya waktu. Abra yang menawan dan baik hati kini terkesan lebih buruk, jahat dan menyebalkan dari Bintang. Things have changed pretty odd and fast.
Abra memanggil namaku dari seberang jalan yang membatasi antara gedung kampus dan halaman. Aku baru saja melangkah setapak. Ia berlari menerobos kerumunan manusia, menerjang semak belukar laksana Anthony Hopkins di film Zorro, hanya untuk mengejarku yang terus berjalan acuh tak acuh.

"Oi!! Gemma!!" teriaknya dengan nafas terengah-engah. Makin lama aku jadi mempercepat langkahku. Orang-orang disekitar kami menjadi resah dan berbisik-bisik, disangkanya akan terjadi suatu tindak kriminal di kampus. Untuk menghindari reaksi-reaksi yang tidak diinginkan dari mahasiswa setempat, dengan berat hati aku memberhentikan langkah dan berbalik badan menyambut Abra.

"Oh. . temennya, toh. Kirain mau dicopet."

"Aku ngirane dia mau di tembak dari belakang, kayak di pelem-pelem barat itu, lho." ujar dua tukang sapu dengan aksen jawa kental yang sedang berbincang menatapku, ibarat sedang arisan cantik ditengah halaman. Sangat buruk reaksi dari orang-orang setempat, rupanya, sampai-sampai aku aku dikira korban pembunuhan. Kini rusak berat citraku.

"Apa lagi?" begitulah kata penyambutanku. Abra mengacungkan telunjuknya, kemudian membungkuk bertindih pada kedua lutut. Dengan terengah-engah ia mengatur napasnya yang hampir habis, keringatnya yang bulat-bulat menetes satu persatu ke rumput. Teriknya matahari makin membuatnya gerah – ketika ia menegakkan badannya, terlihat kedua alisnya menyatu melengkung seperti kedua ulat yang saling pandang.

"Kh-khita... perlu... nghomhooong..." napasnya berhembus disetiap kata, terdengar seperti seekor naga yang tersedak biji kedondong. Aku menggelengkan kepala, tanda tak tertarik pada ajakanya untuk bicara. Wajah Abra kembali memelas,

"Ayo dong Gem... sekarang kita udah gak bicara selama 12 jam 45 menit, lho. Gue gak mau kita berantem lebih dari 24 jam. Please, kita ngobrol dulu ya? Ya?"

"You desserve it. Selamat merasa bersalah." Kataku tegas, mendeklarasi keputusanku. Kemudian suara-suara berbisik itu kembali datang dari berbagai arah, membicarakan kami berdua pastinya.

"wah... udah deh tuh diputusin, udah deh tuh."

"Koe berani taruhan ndak? Aku kasih 10 ribu kalo putus, koe kasih 15 kalo ndak putus."

"Enak aja! taruhan apaan, tuh? Masa nominalnya gak sama?!" kata yang lebih cerdas, berdiplomatis. Yang beraksen jawa menatapnya serius, walau tahu sudah kalah duluan dalam perdebatannya yang sengit itu. Kedua tukang sapu itu menatap kami tajam, aku jadi semakin risih dan cepat-cepat pergi. Setelah lumayan jauh melangkah aku melihat kebelakang dan menemukan Abra masih terpaku-kaku sendiri di tengah halaman;mirip orang-orangan sawah.

Senja di Mata BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang