D u a

286 8 0
                                    


"Pagi, bunda," kataku, berjalan menuju ruang makan. Mataku menyipit di teriknya cahaya matahari dan melihat bunda sedang membolak-balik koran sembari menyirup teh.
Dua buah piring berisi roti bakar sudah tertata rapih di meja makan. Tumben. Tapi... kenapa cuma dua? Kemana Jeral? Jeral memang sudah seminggu ini kembali hilang dari peredaran semenjak pertengakarannya dengan bunda waktu itu, tapi setahuku 2 hari yang lalu ia balik kerumah. Kami bahkan sempat bertemu, walau tidak bicara. Bunda lalu mengangkat kepalanya dan tersenyum padaku, "pagi sayang."

Sayang? Kapan terakhir kali dia berkata lembut padaku? Oh, aku ingat. Sekitar 8 tahun yang lalu. Aku berusaha tidak mempertanyakan sikap aneh bunda dan situasi yang aneh ini dengan mulai mengolesi roti bakar dengan selai coklat. Satu gigit, dua gigit, akhirnya aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya.

"Bun?"
"Hmm?"
"Seneng banget kayaknya hari ini."

itu bukan pertanyaan sebenarnya, melainkan singgungan. Bunda melepas kacamata bacanya, menutup lembaran koran dan menatapku.

"Jeral udah pergi."

Aku masih tidak mengerti mengapa pernyataan dan ekspresi bunda barusan sangat tidak sinkron. Ia tersenyum saat mengatakannya. Apa aku salah lihat? Dia tersenyum, bukan sedih.

"Kok bunda seneng?" protesku sambil menaruh roti kembali ke piring. Selera makanku sudah hilang.

"Anggep aja, Jeral bukan bagian dari keluarga ini lagi, Gemma. Bunda udah melakukan tugas terakhir bunda sebagai seorang ibu. Kemarin malam bunda udah transfer setengah dari biaya nikah yang dia minta."

Mataku mulai berkaca-kaca. Aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak menangis didepan bunda.

"Maksudnya?"
"Ya.. penghasilan katering bunda selama 3 bulan ini full bunda kasih ke Jeral. Memang nominalnya gak sesuai dengan yang diminta. Tapi daripada dia ngerecokkin hidup bunda terus? Mending bunda tuntasin tugas bunda yang terakhir ini. Sekarang bunda udah lepas."

Entah apa yang terjadi mulutku terasa seperti terkunci, berat sekali untuk bicara sepatah kata saja. Aliran darahku terasa sangat kencang menyembur-nyembur diseluruh badan, jantungku juga berdetak sangat cepat. Sudah seminggu kami bertiga tidak bicara satu sama lain, dan tidak ada satupun dari kami yang membahas topik ini. Aku seperti pura-pura tidak tahu bahwa bunda tahu Jeral akan menikah, bunda seperti pura-pura tidak tahu bahwa aku tahu, dan Jeral seperti pura-pura tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba dunia seakan berhenti, waktu tidak berputar lagi, yang tetap berjalan hanya percakapan bunda; percakapan pahit yang tidak pernah aku bayangkan. Bunda terus dan terus bicara, sesekali juga tertawa. Kupingku kebas, hampir tidak terdengar satu katapun darinya. Yang aku lihat hanya mulut bunda yang tidak pernah terkatup karena terlalu banyak bicara dan ekspresinya yang. . . menyebalkan.

"Gem?"
Gemma?"
"Gemma!"
Jiwaku yang melayang-layang dengan cepat masuk kembali ke kepala. Ternyata dari tadi aku hanya diam memelototi bunda.

"Y-ya?" jawabku gugup.

"Gemma, kok nangis?"

Tanya bunda dengan raut cemas. Aku baru sadar ternyata air mata yang sedari tadi kutahan jatuh juga. Dengan cepat aku menyekanya.

"Kamu gak apa-apa?"

Aku mengangguk yang dalam artian menggeleng. Ya jelas aku apa-apa, bunda. Aku hancur. Tidak seharusnya semua terjadi seperti ini; bunda melepas Jeral begitu saja, lalu uang kita habis, dan Jeral pergi dengan sikap yang in a way menunjukkan bahwa ia tidak akan pernah kembali lagi. Ia akan menikahi perempuan itu, punya anak, hidup 'bahagia', dan menjauh dari keluarga ini untuk selamanya. Apakah itu yang bunda mau?

Senja di Mata BintangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang